#20

856 135 13
                                    

Gendis mengetuk-ngetuk keningnya dengan pulpen standart warna ungu pastel, karena yang biru sudah habis.

Pikirannya terus melayang pada saat Rikza mengantarnya pulang. Nggak ada hal aneh selama perjalanan pulang, Rikza membawa motor bebeknya dengan tenang dan sesekali cowok itu melempar lelucon yang membuat mereka berdua tertawa. Setibanya di depan rumah Gendis juga tak ada hal aneh, Rikza nggak mengatakan kalimat-kalimat yang membuat Gendis berpikir keras, walaupun pertanyaan cowok itu di kelas tadi masih mengganggunya. Bahkan sampai sekarang.

"Ck, ngapain sih gue mikirin dia mulu. Mending fokus ngetik lagi."

Gendis mengalihkan pada layar laptop. Senyumnya mengembang melihat jumlah pembaca dan vote di cerita yang baru saja dipublishnya beberapa jam lalu.

Gendis akhirnya mempublish cerita bad boy buatannya yang berjudul At My Best dengan cover wajah Andreas Praeg yang super tampan itu. Dan sesuai perkiraannya, cerita itu menarik perhatian para pembaca. Baru satu bab saja sudah ada lebih dari lima puluh komentar serta seratus vote.

"Semoga aja kata-kata Zeva bener." Gendis mengulum senyumnya sekali lagi.

Tangannya bergerak di atas tetikus. Mengklik pemutar musik dan memilih lagu yang pas. Tak lama suara Bruno Mars mengalun memenuhi pendengarannya melalui alat bantu dengar.

Senyumnya mengembang seiring jarinya menari di atas keyboard.

"Somewhere, somewhere, somewhere in Brooklyn."

Class meeting resmi berakhir hari ini, di hari kelima setelah semua lomba menemukan juaranya. Di hari terakhir ini, hanya ada pentas seni dari masing-masing kelas dan pemberian hadiah bagi para juara.

Panggung kecil sederhana dibangun di depan koridor aula dan sejak pukul sembilan tadi lapangan tengah sudah dipenuhi siswa-siswi Persada Nusantara dengan pakaian batiknya.

"Tumben jam segini nggak panas," seloroh Sekar yang berjalan di sampingnya sambil memakan siomay.

"Langit ngerti akan banyak orang bahagia hari ini."

Jawaban Gendis itu membuat Sekar menghentikan langkahnya, melirik Gendis lalu mendengus.

"Calon sastrawan gini emang, berat banget omongannya. Jadi kenyang gue."

Gendis tertawa lantas melanjutkan langkahnya dan baru berhenti saat di koridor utama.

"Manda mana sih?"

Sekar mengedikkan bahu. "Tau, orang famous kayak dia mah jangan dicari."

Gendis meresponsnya dengan kekehan geli. Manda dan Mara, dua orang yang cukup dikenal di sekolah mereka, nggak heran di saat seperti ini mereka sangat sulit ditemukan. Kadang Manda ada di kantin dengan anak-anak famous, kadang kumpul dengan teman paduan suara dan kadang bersama Giza.

"Za!" panggil Sekar tiba-tiba.

Gendis menoleh. Mendapati Rikza berjalan ke arah mereka dari lapangan tengah.

"Weh kayak ada yang beda!" Sekar menepuk-nepuk pundak Rikza membuat cowok itu makin melebarkan senyumnya.

"Yoi! Gue abis potong rambut, ganteng nggak?" Rikza menaik turunkan alisnya, masih dengan cengiran khasnya.

Sekar mengangguk dengan kekehan geli. "Sama aja sih sebenernya."

"Sama-sama ganteng?"

"Biasa aja."

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang