#25

917 140 36
                                    

Ekspektasi itu berbanding lurus dengan kekecewaan. Semakin tinggi harapan itu ditumbuhkan, semakin besar pula resiko untuk kecewa.

Hal itu yang kadang tak disadari oleh manusia. Tak peduli seberapa sering mereka berharap lalu kecewa, pada akhirnya manusia memang selalu berharap entah untuk hal-hal sederhana atau bahkan hal-hal besar seperti mengubah dunia.

Hal yang sama kembali terjadi pada Gendis. Ia berharap terlalu tinggi lalu yang ia dapatkan cuma perasaan kecewa karena kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasinya.

Karyanya di wattpad yang Gendis harap bisa meraup kesuksesan seperti banyak cerita berlabel badboy itu berjalan tak sesuai harapan. Gendis mulai menyadari itu saat melihat angka votes dan komentar yang semakin menurun dari part-part sebelumnya.

Padahal selama liburan Gendis rajin menulis. Ia bisa menulis dua sampai tiga part perhari dan itu terus berlangsung selama dua minggu libur sekolah ini. Semangat membara yang ada dalam diri Gendis langsung padam.

Berbagai cara dilakukannya. Update tiap part hampir setiap hari, menuliskan hal-hal yang ngebaperin serta quoteable agar para pembacanya tetap setia. Tapi, rupanya itu tak berhasil.

Gendis menghela napas panjang. Menatap datar pada akun wattpadnya. Rasanya ia ingin menangis sekeras-kerasnya.

Harapan pada proyek badboynya ini sangat tinggi. Gendis menggoyahkan prinsipnya selama ini untuk menuliskan kisah badboy yang pasaran, dengan alur yang mirip dan mengandalkan 'baper' semata. Gendis sudah yakin jika kesuksesannya akan datang sebentar lagi. Tapi, kenyataan benar-benar jauh dari harapannya.

"Ahelah! Nangis aja deh gue!" seru Gendis penuh kefrustasian. Tangannya mengacak-acak rambut yang ia gerai malam ini.

Malam yang hening karena jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Jam yang lumrah bagi Gendis masih berada di depan laptop, berkutat dengan imajinasinya.

"Males ah! Males!"

Gendis mematikan laptopnya lalu melompat ke tempat tidur dengan bibir manyun.

"Kenapa sih kayak gini? Kenapa yang lain tuh dengan gampangnya bisa nembus sejuta padahal ceritanya bisa gue tebak dari blurbnya! Kenapa yang lain bisa cepet terbit padahal cuma ngandelin baper-baper bullshit itu doang? Kenapa?!"

Gendis meredam suaranya dengan guling. Matanya sudah berkaca-kaca. Rasa kesal dan kecewa itu begitu besar. Memerangkap Gendis dalam perasaan yang menyesakkan.

"Kenapa dunia suka nggak adil sama gue? Gue anak baik, gue nggak pernah ngelawan orang tua, gue nggak pernah jahat sama orang dan malah gue yang dijahatin tapi gue masih bersikap baik. Kenapa dunia nggak pernah adil sama orang-orang baik?"

Gendis masih menggerutu. Kini air mata mengiringi tiap ungkapan kekecewaannya.

"Gue cuma pengen bisa ngebanggain keluarga. Gue cuma pengen bisa ngeringanin beban mama. Gue cuma pengen ngeraih cita-cita gue. Bukan pengen jahatin orang atau nguasain dunia kayak freemason sama alien."

Gendis mengusap air matanya kasar. "Udah ah, males. Mau berhenti nulis aja."

Seminggu sejak resminya Gendis jadi kelas dua belas. Menempati lantai tiga di gedung selatan yang membuat pemandangan dari depan kelasnya juga berbeda. Merasakan atmosfer sebagai siswa tingkat atas di Persada Nusantara yang menguasai kantin dua belas dan perasaan was-was karena sebentar lagi akan lulus.

Tapi, hari ini berbeda. Sejak berangkat sekolah Gendis sama sekali nggak memasang wajah ceria. Aura di sekelilingnya juga cenderung dingin dan ia sedang dalam mood paling buruk. Sistem senggol bacok akan ia terapkan untuk siapa pun yang mengganggunya.

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang