Sabtu sore Gendis sudah bersiap untuk pergi ke rumah Manda. Memenuhi janjinya untuk menginap bersama Sekar dan juga Mara.
Rencana mereka terpaksa dimajukan dari jadwal sebelumnya karena Mara dan Manda akan bepergian bersama keluarga masing-masing.
Gendis menenteng ransel warna hitamnya dan ponsel. Hoodie warna abu-abu dengan celana jeans hitam menjadi pilihan outfitnya hari ini.
Di ruang keluarga ada mamanya yang terdiam menatap dua rapor di meja. Gendis mengambil duduk di sofa single sebelah mamanya duduk.
"Ma."
Ekspresi terkejut itu meyakinkan Gendis kalau ada hal yang mamanya pikirkan sekarang.
"Kakak udah mau berangkat?"
"Iya. Galang lagi beli pulsa sebentar."
Mamanya mengangguk. "Oh. Hati-hati ya, jangan ngerepotin di rumah Manda."
Gendis meresponsnya dengan anggukan singkat. Matanya menatap mamanya lekat.
"Mama mikirin apa?"
"Nggak kok, nggak mikir apa-apa. Cuma mama baru sadar aja kakak sama Galang udah gede. Udah bukan anak kecil lagi yang nangis terus dikasih es krim langsung diem," mamanya menjawab dengan kekehan.
Gendis ikut tertawa walaupun itu jenis tawa formalitas. "Iya. Galang berantemnya nggak karena rebutan mobil-mobilan lagi."
Mamanya tertawa lagi. Satu tangannya bergerak mengusap kepala Gendis.
"Kakak udah tau mau ambil jurusan apa?"
Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Gendis terdiam sejenak. Ia memang resmi jadi murid kelas dua belas setelah pagi tadi mama mengambil rapornya. Tapi, rasanya ini terlalu cepat atau hanya Gendis yang tak ingin masa SMAnya berakhir secepat ini.
"Nilai-nilai kakak stabil, berdoa aja semoga bisa masuk universitas lewat jalur undangan," imbuh mamanya lagi.
Gendis memfokuskan tatapan pada mamanya. Tiba-tiba ia merasa sesuatu yang berat menggelayuti hatinya. Mamanya pasti sedang memikirkan tentang biaya pendidikannya dan Galang. Tahun depan ia akan lulus dan masuk universitas sedangkan Galang akan masuk SMA.
"Kakak masih mau kuliah di Semarang kan? Nanti tinggalnya sama Tante aja."
Gendis teringat hal itu. Dulu sekali saat ia liburan ke rumah neneknya di Semarang, ayahnya membicarakan tentang Universitas Negeri yang cukup populer di sana dengan pamannya, lalu keesokan harinya ia dan keluarganya melewati gerbang universitas itu. Dari semua cerita penuh kekaguman dan mengetahui jika ayahnya pernah mengenyam pendidikan di sana, membuat Gendis kecil berucap akan kuliah juga di tempat yang sama. Tapi, melihat keadaan mereka sekarang Gendis jadi ragu.
"Nggak tau juga, Ma." Hanya itu yang akhirnya keluar dari mulut Gendis.
"Yaudah dipikir-pikir dulu. Mama harus mulai awasin Galang nih, adik kamu itu nilainya mengkhawatirkan."
"Iya, nanti biar Gendis ajarin kalo dia mau."
Mamanya terkekeh. "Kalian berdua nih kalo akur nyenengin, kalo berantem udah kayak mau perang dunia."
Mau tak mau Gendis tertawa juga mengingat ucapan mamanya itu seratus persen benar. Walaupun tawa itu tak mampu menghapus perasaan berat dalam hatinya.
•
Motor matic hitam legam itu berhenti di depan pagar sebuah rumah berdesain minimalis yang cukup besar.
"Makasih, ayang beb. Jangan ngebut ya," ujar Gendis seraya melepas helm dan memberikannya pada Galang yang langsung mendengus.
"Jijik tau nggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blocknote
Teen FictionA wise man once said : "Magic happens when you don't give up, even though you want to. The universe always falls in love with a stubborn heart." An amazing cover by @shadriella Blocknote Elok Puspa | Oktober 2017