#32

840 119 53
                                    

"Lo kenapa, Ge? Ada masalah?"

Gendis mengerjapkan matanya beberapa kali. "Nggak. Nggak pa-pa."

"Dari tadi lo ngelihatin gue gitu banget. Ada yang mau lo omongin?" tanya Manda lagi, kali ini cewek itu memutar tubuhnya agar sepenuhnya menghadap Gendis.

Gendis menggeleng. "Nggak pa-pa, Man. Gue oke kok."

Kenapa lo bisa beruntung, Man? Disukai banyak orang, punya bakat segudang, dan hidup tanpa beban? Dimana letak keadilan ketika lo bisa dengan gampangnya ngedapetin apa yang lo mau sedangkan gue?

"Nyokap lo? Galang?"

"Nggak pa-pa juga. Nyokap sehat cuma akhir-akhir ini sering lembur aja."

Dan kenapa lo harus sebaik ini sama gue?

Manda menegakkan punggungnya. Matanya terarah pada Pak Jajang yang duduk di meja guru dan terfokus pada gadget.

"Lo pasti kepikiran nyokap lo deh. Gue ngerti kok, khawatir rasanya kalo orang tua kerja terus," ujar Manda mengalihkan tatapannya pada buku tulis di meja dan melanjutkan menulis jawaban-jawaban.

Gendis memaksakan senyum dan kembali menggerakkan tangannya untuk menulis. "Iya kayaknya. Gue takut nyokap sakit, sekarang cuaca lagi kayak gini."

Gue benci kenyataan gue nggak bisa benci lo, Man.

Manda menganggukkan kepalanya, menoleh pada Gendis dan tersenyum lembut. "Anak emang nggak bisa ngelarang orang tua buat ngelakuin apa yang mereka pengen, cara lain buat nunjukin kekhawatiran kita ya dengan mastiin mereka sehat. Mungkin lo bisa masakin makanan buat nyokap lo dan diingetin buat minum vitamin."

Gendis mengulum senyumnya. "Iya sih. Makasih ya, Man."

"Iya, Ge, kayak sama siapa aja deh."

Senyum Gendis perlahan lenyap seiring dengan suara lain dalam dirinya mengatakan satu kalimat yang makin menjatuhkan kepercayaan dirinya.

Nggak salah kan kalo banyak yang suka sama dia? Manda emang baik. Lo cuma harus berhenti iri aja, Ge.

Jam istirahat kali ini Gendis nggak nongkrong di koridor lagi bersama blocknotenya karena Rikza bisa saja ke sana dan Gendis nggak mau jatuh lebih dalam lagi pada pesona cowok itu. Gendis nggak ingin menghancurkan dirinya sendiri.

Gendis melenggang keluar dari kelas yang sepi karena semua orang ke kantin termasuk ketiga temannya, kaki Gendis berhenti di koridor depan kelas. Berpikir dimana tempat ia bisa menyendiri tanpa ada gangguan siapa pun. Matanya nggak sengaja menangkap bayangan tralis besi tinggi di bagian gedung depan. Senyum Gendis terbit dan kakinya kembali melangkah menyusuri koridor untuk tiba di lapangan basket sekolah.

Persada Nusantara lagi-lagi punya hal aneh yang mungkin jarang dimiliki sekolah lain. Lapangan basket di sekolahnya ini terletak di lantai tiga tepat di atas ruang guru. Tiap sisinya dipagari tralis baja yang tinggi, ada dua tribun mini di belakang tiang ring dan tanpa atap yang menaungi. Dari sini lapangan depan terlihat dengan jelas, hiruk pikuk jalanan depan sekolah juga terlihat dan katanya banyak yang mengabadikan momen senja di tempat ini.

Gendis cukup jarang kesini. Letaknya jauh dari kawasan kelas sepuluh dan kelas sebelas. Lagi pula posisinya yang di atas ruang guru dan dekat dengan daerah kelas dua belas, membuat anak kelas sepuluh dan sebelas jarang ke sini kecuali mereka ada pelajaran olahraga dan mengikuti ekskul basket.

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang