#33

812 128 62
                                    

Bodoh.

Giza membuat Gendis menyadari betapa bodohnya ia selama ini. Saat cowok itu mengatakan untuk menjauhi Rikza agar nggak lagi merasa sakit hati, Gendis merasa itu cuma omong kosong belaka. Tapi, kini apa yang dikatakan Giza terbukti dan jujur saja Gendis terluka akan fakta itu.

Lebih kepada kenyataan bahwa Giza saja bisa tau tentang perasaan Rikza pada Manda, sedangkan dirinya yang selalu ada di sekitar mereka berdua sama sekali nggak menyadari hal itu. Fakta itu menampar keras Gendis. Dua kali ia patah hati oleh penyebab yang sama. Dua kali ia nggak menyadari perasaan orang terdekatnya sendiri. Dua kali!

Ego Gendis terluka oleh hal itu. Gendis benci terlihat bodoh di depan orang lain. Gendis benci nggak tau apa-apa. Gendis benci dirinya sendiri.

Semalaman ini Gendis sibuk memaki dirinya sendiri sambil mengingat-ingat semua kenangannya bersama Rikza, mencari petunjuk-petunjuk tentang perasaan cowok itu dan Gendis kembali kecewa. Rikza sudah menunjukan perasaannya pada Manda selama ini, tapi ia nggak pernah menyadarinya.

Gendis bukan lagi hanya patah hati, lebih dari itu harga dirinya terluka.

Gendis sengaja berangkat sekolah dengan angkot walaupun pagi ini nggak turun hujan. Gendis bahkan rela berjalan dari perempatan di ujung jalan karena lalu lintas sangat padat dan ia bisa terlambat jika ia tak secepatnya turun dari angkot.

Earbuds terpasang di kedua telinga Gendis dengan playlist EDM disetel pada volume tertinggi. Aura gelap menyelimuti Gendis dan ia pun nggak berusaha menutupinya. Gendis lelah berpura-pura baik-baik saja sekarang. Sekali saja Gendis ingin menunjukan emosinya.

"Ge!"

Gendis nggak menghentikan langkahnya. Rikza yang kesal karena panggilannya seolah diabaikan terpaksa berlari menjajari langkah Gendis.

"Ge!" Rikza menarik bahu Gendis sampai membuat cewek itu berhenti bergerak.

Dengan santainya Gendis melepas earbuds dari telinga kanan. "Apa?"

"Lo dipanggilin nggak nyahut! Kayak orang bego tau nggak manggilin lo dari lapangan tadi nyampe sini!" oceh Rikza sambil menyugar rambutnya.

Gendis melarikan matanya ke arah lain. "Emang mau lo kasih apaan manggilin gue?"

Rikza mendecak. "Lo nggak pa-pa?"

"Apanya?"

"Ya lo."

Gendis menatap Rikza sekilas sebelum kembali menatap lalu lalang koridor pagi ini yang ramai karena bel akan berbunyi semenit lagi.

"Gue nggak pa-pa," jawab Gendis lirih.

Rikza menangkap jelas hal itu dan instingnya bekerja cepat. "Lo diapain kemarin sama tuh cowok? Dia ngomong apa lagi?"

Gendis mengerjapkan matanya beberapa kali. Yang dimaksud Rikza itu pasti Giza. "Bukan apa-apa, bukan hal penting."

Bagian dalam diri Gendis mencibir habis-habisan. Sepertinya ia layak jadi bintang sinetron kejar tayang.

"Beneran? Kemarin gue nyusulin lo tapi lo udah nggak ada."

"Galang udah jemput."

Alasan lagi. Padahal sebenarnya Gendis berjalan sampai perempatan dan menunggu angkot di sana sampai sore.

"Beneran lo nggak pa-pa? Beneran dia nggak ngomong aneh-aneh? Bilang sama gue, Ge."

Gendis mendongak, matanya tertuju lurus pada Rikza. "Nggak semua hal harus gue kasih tau lo kan?"

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang