#30

846 131 86
                                    

Memasuki pertengahan bulan, intensitas turunnya hujan mulai meningkat. Bukan cuma sore tapi juga pagi hari di saat semua orang memulai aktivitasnya.

Hal yang cukup menyebalkan buat Gendis, bukan karena dia gengsi harus pakai jas hujan yang membuatnya terlihat seperti bayi penguin -kata Rikza begitu- tapi karena Gendis jadi harus berangkat lebih pagi untuk mengejar angkot yang selalu penuh tiap pagi. Naik ojek online bukan pilihan yang tepat sekarang ini.

Gendis berlari kecil menyebrangi lapangan depan yang masih sepi. Begitu sampai di lobi utama, Gendis melipat payung dan memasukkannya di plastik. Kepalanya menggeleng pelan membuat tudung hoodie merah marun yang dipakainya turun, menampakkan rambut Gendis yang tergerai pagi ini.

Langkah Gendis berbelok ke arah koridor lab yang lebih dekat ke tangga kelas dua belas. Sekilas, ia melihat langit yang begitu kelabu dengan awan hitam menggantung rendah.

Gendis percaya kalau alam semesta selalu memberi petunjuk. Entah hal itu berhubungan dengan kebahagiaan atau kesedihan. Itu sebabnya Gendis sering kali menatap langit, dari sana ia mencari petunjuk tentang apa yang akan terjadi walaupun lebih sering meleset dari perkiraannya.

Tapi, tidak dengan pagi ini, hujan yang turun sejak pagi itu benar-benar petunjuk. Keterkejutan luar biasa melanda Gendis saat tiba-tiba tangan kanannya yang memegang plastik berisi payung basah ditarik oleh seseorang dan yang lebih mengejutkannya adalah ketika ia tau siapa pelakunya.

Sesosok cowok bertubuh tegap berbalut jaket hoodie warna hitam dan ransel warna senada berdiri di depannya. Rambut hitam yang jatuh menutupi dahinya sedikit basah.

"Giza?!"

Cowok itu menatap Gendis lekat. Tatapan yang begitu dirindukannya, dulu. Iya, dulu, sebelum tatapan penuh binar semangat milik Rikza menggantikannya.

"Ge, gue minta satu hal."

Dahi Gendis kontan berkerut. Belum cukup kemunculan Giza yang tiba-tiba ini setelah kejadian waktu itu cowok di depannya ini menganggapnya seperti orang asing dan sekarang bisa-bisanya Giza mengucapkan hal itu.

"Apaan sih?" Gendis melepaskan tangan Giza. Ditatapnya cowok itu tepat di mata. Jika dulu Gendis sama sekali nggak berani mata hitam itu sekarang ia lebih berani walaupun masih ada kekhawatiran kalau ia akan kembali jatuh pada pesona membekukan milik Giza. Nggak mudah untuk berpaling sepenuhnya dari seseorang yang pernah begitu lama bertahta dalam hatinya.

"Jauhin cowok itu."

"Hah?"

"Jaga jarak sama cowok yang waktu itu nonton bareng lo."

Gendis langsung tau siapa yang dimaksud Giza dan sudut hatinya merasa tersinggung dengan permintaan cowok itu.

"Kenapa emang? Suka-suka gue lah mau deket sama siapa. Apa hak lo buat nyuruh-nyuruh gue? Lo bukan siapa-siapa."

Gendis melihat dengan jelas mata Giza membesar dalam sekejap. Pertanda cowok itu merasa terluka oleh kata-katanya.

"Gue nggak mau lo sakit hati lagi, Ge."

Decakan sinis keluar dari bibir Gendis. "Lo lupa atau pura-pura lupa? Selama ini yang udah nyakitin gue, ngancurin hati gue, bikin gue nggak pernah punya nyali bahkan buat berdiri di depan lo tuh siapa?"

Gendis menatap tajam Giza. Jari telunjuknya terarah lurus pada cowok itu. "Itu lo! Bukan Rikza. Lo nyuruh gue pergi dan lupain perasaan gue ke lo, udah gue lakuin semuanya! Terus kenapa lo tiba-tiba bersikap sok peduli sama gue?"

"Gue-."

"Cukup ya, Za. Selama ini udah cukup gue ngancurin diri gue sendiri dengan nyimpen perasaan ke lo, sekarang biarin gue bahagia sama pilihan gue sendiri. Tanpa ada bayang-bayang lo lagi."

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang