#29

835 126 38
                                    

Semalam Gendis kembali memposting part terbaru dari project badboynya, setelah hampir dua minggu dia sama sekali nggak membuka wattpad.

Gendis nggak lagi merisaukan angka-angka yang tertera di akunnya. Gendis cuma ingin menulis dan menyampaikan apa yang dipikirkannya. Lagian Gendis merasa tersindir dengan salah satu kalimat di novel Le Petite Prince, katanya "Orang dewasa suka angka." Gendis belum mau disebut dewasa.

Banyak hal yang Gendis lewatkan selama hampir dua minggu itu. Padahal kata Zeva ada drama seru di wattpad. Gendis mendengus saat tau tentang itu, lalu ia mencibir tentang wattpad yang sekarang lebih mirip instagram, bukan lagi jadi wadah untuk menyalurkan hobi tapi malah jadi ajang cari popularitas dengan cara-cara murahan.

Tapi, yang Gendis syukuri adalah para pembaca setianya yang ternyata masih menunggu karya-karyanya. Ada lebih dari sepuluh pesan di dinding profilnya dan beberapa melalui pesan pribadi. Hal itu yang membuat Gendis terharu dan berjanji pada dirinya sendiri untuk nggak lagi patah semangat. Kenyataan memang terkadang jauh dari harapan, namun banyak hal kecil yang sepatutnya disyukuri.

Gendis tersentak saat pundak kirinya ditepuk. Refleks kepalanya menoleh ke arah kiri tapi tak ada siapa pun. Lalu kepalanya berbalik ke sisi kanan.

Rikza berdiri di sampingnya cengiran. Kaki Gendis otomatis berhenti bergerak. Matanya memindai Rikza.

Sekilas tak ada yang berbeda dari Rikza. Jaket parka warna biru dongker membalut tubuh cowok itu rapat-rapat. Rambut yang nggak disisir rapi dan wajah Rikza sedikit memerah.

"Rikza."

"Halo Sugar Lady."

Cara Rikza mengatakan 'Sugar Lady' itu masih sama tapi reaksi Gendis kali ini berbeda. Bibirnya spontan melengkung begitu mendengar Rikza mengatakan sebutan khusus itu.

"Sehari nggak manggil Sugar Lady tuh kayak ada yang kurang. Jadi gue akan lebih sering manggil Sugar Lady sekarang," lanjut Rikza lagi. Tapi nggak lama cowok itu bersin-bersin dan menutupinya dengan melintangkan lengan kanannya di depan wajahnya, kalau istilah jaman sekarang sih 'pose nge-dab'.

Gendis melepas satu tali tas dari pundaknya. Tangannya membuka resleting dan mengambil sebungkus tisu yang selalu dibawanya.

"Nih."

Rikza menoleh sebentar. Matanya menatap ke tangan Gendis dan mengambil tisu.

"Makasih," ujar Rikza dengan suara sengau.

Gendis memperhatikan bagaimana Rikza membersit hidungnya dan meninggalkan rona merah di sana.

"Kayaknya gue jangan deket-deket lo dulu," ucap Rikza tiba-tiba yang langsung membuat Gendis menaikkan kedua alisnya.

"Kenapa?" Jantung Gendis berpacu cepat. Pikiran-pikiran buruk sudah memenuhi otaknya.

"Gue lagi flu. Ntar lo ketularan."

Seperti ada air dingin yang menyirami hati Gendis begitu Rikza menyelesaikan kalimatnya. Gendis menghela napas penuh perasaan lega lalu ditatapnya Rikza dengan senyum tertahan.

"Gue kira lo nggak bisa sakit."

Rikza melirik Gendis sekilas lalu kakinya melangkah menaiki tangga. Gendis mengikutinya.

"Lo kira gue mutan anti sakit?"

"Kali aja kan. Waktu itu lo maksain pulang?"

"Kalo nggak pulang, gue bisa diomelin kakak gue karena nggak service motor."

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang