#28

799 110 34
                                    

Memasuki bulan dengan kata akhiran 'ber' memang selalu identik pada musim hujan.

Langit selalu kelabu, awan menggantung rendah seolah siap menjatuhkan rintikan air kapan saja dan Gendis tetap saja Gendis yang keras kepala tiap diberitahu. Bukan sekali dua kali mamanya mengatakan untuk membawa payung namun Gendis selalu lupa membawanya.

Jika kemarin-kemarin ia beruntung karena tiap pulang sekolah hujan sudah reda tapi hari ini berbeda. Sejak bel pulang berbunyi lima belas menit lalu, nggak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Memang bukan hujan deras, cuma rintikan kecil-kecil namun tetap saja, kelamaan dibawahnya akan membuat tubuhnya basah.

Dan di sinilah sekarang Gendis berada, di koridor lab yang sepi. Sendirian. Mara dan Manda sudah pulang dijemput, sedangkan Sekar pasti nekat pulang walaupun katanya jas hujannya robek.

Hujan membuat siapa pun ingin cepat pulang walaupun harus basah-basahan. Tapi, rupanya hal itu nggak berlaku buat anak-anak Ultras sekolahnya, lapangan tengah yang tadinya sepi langsung terisi oleh cowok-cowok yang sudah melepas seragam mereka dan berlarian bebas tanpa alas kaki. Hanya berbalut kaos dan celana abu-abu.

Bibir Gendis sedikit tertarik ke atas. Zuko cs berlarian dengan tawa lebar, memperebutkan bola di bawah rintik hujan. Sesuatu yang sangat menarik untuk dituliskan. Sudah seminggu lebih Gendis nggak menyentuh wattpad.

"Gendis!"

Kepala Gendis menoleh ke sumber suara. Rikza berjalan cepat ke arahnya dengan jaket hitam disampirkan asal di pundak kanannya. Rambutnya agak sedikit basah, mungkin karena air hujan.

"Lo masih di sini?"

"Iya. Lah lo kenapa belum pulang?" tanya Gendis balik. Jantungnya langsung berdegup cepat namun matanya tak bisa beralih dari Rikza.

"Nggak bawa kas hujan. Padahal gue harus ke bengkel, buat service motor."

Gendis mengangguk. "Yaudah. Selamat menunggu. Gue duluan."

"Lo udah dijemput?"

"Mau naik angkot aja."

Mata Rikza sedikit membesar. "Angkot?"

"Iya, udah ah, lo ngajak ngobrol mulu ntar tuh angkot keburu nggak lewat." Gendis berjalan meninggalkan Rikza. Sebenarnya itu adalah usaha Gendis untuk menyelamatkan hatinya.

Gendis benar-benar masih ragu dengan perasaannya. Apa iya sekarang ia balik menyukai Rikza dan membiarkan ucapan-ucapan Mara serta Sekar waktu itu jadi kenyataan? Kalau sampai teman-temannya tau, bisa dipastikan ia kan jadi bulan-bulanan sampai tua nanti. Menyebalkan.

"Gue anter sampe depan."

"Sampe depan gue juga bisa sendiri," jawab Gendis setengah terkejut mendapati ternyata Rikza menyusulnya dan di saat yang bersamaan matanya tak sengaja beradu tatap dengan Yoga yang berjalan dari arah kantin kelas sepuluh.

Gendis menggelengkan kepalanya dan buru-buru mengalihkan pandangan. Keduanya berbelok ke lobi utama alias lobi depan sekolah yang di kanan kirinya berjajar deretan piala.

"Gue harus service motor sih, kalo nggak bakal gue anterin, Ge."

Jawaban Rikza itu membuat pipi Gendis memanas entah karena apa.

"Bukan gitu maksudnya. Gue bisa sendiri kok tanpa lo anterin sampe lobi depan atau sampe rumah. Jangan ngeremehin gue."

"Nggak ngeremehin, Ge. Gue cuma takut lo kenapa-kenapa."

Kaki Gendis berhenti melangkah tepat di ujung lobi. Kedua tangannya bergerak ke depan, sengaja membasahinya dengan tetesan air hujan yang turun dari atap lobi.

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang