Blocknote warna pink itu terbuka di atas meja belajar sedangkan sang pemilik menatap dengan penuh konsentrasi.
Ucapan-ucapan Rikza tadi siang terus berputar di kepala Gendis dan membuatnya kembali membuka catatan-catatan dalam blocknotenya. Gendis merendahkan egonya untuk merefleksi apa saja yang telah dilakukannya selama ini.
Dari mulai alasannya menulis di wattpad, alasannya ingin sekali menjadi seorang penulis dan mewujudkannya di usia muda seperti ini. Benar kata Rikza jika waktunya masih panjang, kesempatan-kesempatan itu masih terbuka lebar di masa depan. Namun, sisi hatinya yang lain menginginkan semua kesuksesan dan cita-citanya itu untuk datang dengan cepat.
Buat apa, Ge? Buat siapa lo pengen sukses itu? Buat diri lo sendiri atau buat bikin orang lain kagum sama lo?
Pertanyaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri itu menghentikan aktifitas Gendis yang tengah membaca catatan-catatannya.
"Buat diri gue sendiri, kok."
Jawaban itu yang keluar dari mulut Gendis. Nggak perlu orang lain untuk menyadarkannya, dia sendiri pun tau ada nada ragu dalam suaranya.
"Mungkin iya gue ngelakuin ini buat bikin orang lain lihat gue ada, bikin gue dikagumi dan dipuji. Iya gue ngaku."
Gendis mencebikkan bibirnya. Sudut hatinya mencibir dan mentertawakannya.
"Tapi, gue juga pengen bantuin mama. Gue tau dia pasti udah mikirin biaya kuliah gue sama sekolahnya Galang. Gue pengen, sekali aja bisa bikin bangga mama sama Galang."
Gendis menghela napasnya. Di saat-saat seperti ini ia selalu merindukan kehadiran ayahnya. Kalau saja ayahnya masih ada, pasti ayahnya akan menyemangatinya. Kalau saja ayahnya masih ada, mamanya nggak perlu banting tulang untuk menghidupi keluarga mereka. Kalau saja ayahnya masih ada, mereka pasti baik-baik saja. Kalau saja ayahnya masih ada...
Gendis menelungkup kan kepalanya di atas blocknote. Suara isakan perlahan lolos dari celah bibirnya. Air mata yang dari kemarin ditahan akhirnya keluar juga.
"Ayah kangen."
•
"Ayah!"
"Halo anak ayah!"
Gendis menghambur ke pelukan sang ayah yang baru datang. Kacamata berbingkai hitam bertengger di hidung laki-laki berseragam biru dengan bordiran nama salah satu media cetak di bagian lengan kanan.
"Mama mana? Galang?"
"Mama sama Galang pergi ke rumah temennya, katanya ulang tahun."
"Oh, terus kakak di rumah sendiri? Emang berani?"
"Berani dong! Gendis kan udah umur delapan!"
Laki-laki itu menurunkan sang anak ke sofa di depan televisi. Dilepaskannya kacamata serta tas hitam di meja.
"Ayah bawa sesuatu buat kakak."
Mata Gendis berbinar cerah. Tangannya bertepuk tangan penuh kebahagiaan.
"Hore! Apa? Apa?!"
Ayahnya tersenyum lebar. Perlahan sebuah buku bersampul biru dikeluarkan dari tas hitam sang ayah.
"Buku tulis? Kalo itu Gendis masih punya ayah."
"Bukan sayang, ini namanya blocknote."
"Blocknote?" Gendis mengernyitkan dahinya tak paham. Matanya menatap buku ditangannya itu dengan seksama. Buku ini nggak jauh beda sama buku tulis bergambar dora miliknya. Sama-sama putih dan bergaris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blocknote
Teen FictionA wise man once said : "Magic happens when you don't give up, even though you want to. The universe always falls in love with a stubborn heart." An amazing cover by @shadriella Blocknote Elok Puspa | Oktober 2017