Gendis kira cuma Okta dan Riana yang tau perihal kejadian kemarin. Juga Sekar dan Mara yang memaksa untuk tau lalu Manda mengambil alih memberikan cerita lengkapnya.
Gendis ternyata juga harus meladeni pertanyaan super menyebalkan dari satu-satunya orang yang Gendis harap nggak pernah tau tentang hal ini, tentang perasaannya dan ketidakberuntungannya soal cinta.
"Jadi beneran lo kemarin nangis, Ge?"
Gendis mendengus lantas memutar kepala untuk kembali fokus pada blocknote pinknya.
"Gue jadi inget satu quotes dari Tere Liye."
Gendis berusaha untuk menghiraukan ucapan-ucapan Rikza.
"Daun yang jatuh tak pernah membenci angin."
Mulut Gendis masih terkatup rapat. Walaupun sebenarnya sederet pertanyaan sudah akan terlontar dari celah bibirnya.
"Lo nggak pernah bisa benci sama orang yang lo suka. Walaupun dia udah nyakitin lo."
Cukup sampai di situ. Gendis nggak bisa menahan rasa penasarannya. Kepalanya menoleh dengan mata membulat.
"Nggak usah sok tau!"
"Gue emang nggak tau, tapi dari yang gue lihat sih gitu."
"Lo nggak tau apa-apa Rikza," ujar Gendis getas sambil menutup blocknotenya dengan sentakan keras.
"Iya gue nggak tau. Tapi, gue lihat kemarin lo sama Manda debat entah apa, gue juga lihat lo dipeluk cowok anak MIA itu dan nangis kejer."
Kalimat Rikza itu sukses membuat Gendis membeku dengan mata membulat
"Padahal gue udah nyusulin lo buat nawarin jadi shoulder to cry on, tapi lo keburu ilang entah kemana."
Gendis masih dalam kondisi tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Rikza. Fakta bahwa Rikza melihat semua kejadian kemarin membuat sudut hatinya merasa malu.
"Jadi, dia bener mantan lo?"
Refleks kepala Gendis menggeleng. "Bukan. Cuma temen."
Rikza mengangguk-anggukan kepala. "Dua orang yang pernah deket tapi sekarang kayak orang asing?"
Gendis menatap Rikza yang juga sedang menatapnya. Dari mana Rikza tau hal itu? Sampai bisa menyimpulkan kenyataan pahit itu?
"Gue doang yang ngerasa deket sedangkan dia nggak," jawab Gendis setelah sekian lama terdiam. Bingung harus mengelak apa lagi. Menyerah dan membiarkan Rikza untuk tau. Lagi pula cowok absurd ini sudah melihat semuanya.
"Oh, bertepuk sebelah tangan?"
Kenapa rasanya masih sama menyakitkannya ketika orang lain memaparkan fakta itu? Fakta jika memang cintanya bertepuk sebelah tangan.
"Harusnya gue bawa gitar nih, biar gue nyanyiin. Lagu Dewa yang Pupus kan pas banget tuh."
Belum sempat Gendis memberikan seenggaknya satu tonjokan pelan di lengan Rikza, cowok itu sudah keburu menyanyikan lirik lagu itu dengan lantang. Membuat beberapa orang yang melewati koridor aula menoleh lalu mendecak.
"Baru ku sadariiiii, cintaku bertepuk sebelah tangannnnnn. Kau buat remuk, seluruh hatikuuuuuu. Jeng jeng jeng!"
Gendis menutup wajahnya dengan blocknote. Merasa malu sekaligus berharap agar orang-orang nggak menyadari keberadaanya di samping Rikza.
"Nggak pa-pa, Ge, patah hati itu saat terbaik buat berkarya, jadi lo nulis aja yang banyak. Biar cepet jadi penulis bestseller. Kan lumayan punya temen famous!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Blocknote
Teen FictionA wise man once said : "Magic happens when you don't give up, even though you want to. The universe always falls in love with a stubborn heart." An amazing cover by @shadriella Blocknote Elok Puspa | Oktober 2017