#27

946 132 33
                                    

"Mengadili diri sendiri lebih sulit daripada mengadili orang lain. Jika kamu berhasil, berarti kamu betul-betul orang yang bijaksana."

Kalimat yang begitu menohok Gendis. Membuatnya sejenak menghela napas dalam-dalam.

Matanya kembali membaca deretan kalimat yang ada dalam novel pemberian Zeva waktu itu, Le Petite Prince. Novel yang katanya adalah buku anak-anak namun sejak awal Gendis membaca buku ini ia merasa buku ini terlalu bagus untuk jadi sebuah buku anak-anak semata.

Begitu banyak nasehat yang bisa dijadikan pengajaran untuk lebih menghargai hal-hal kecil dengan kalimat sederhana yang begitu mengena. Seperti yang baru saja Gendis baca.

Mengadili diri sendiri lebih sulit daripada mengadili orang lain.

Itu benar. Gendis pun langsung setuju di detik pertama ia menyelesaikan kalimat itu bersamaan dengan otaknya yang memutar tiap kelakuannya yang berusaha membenarkan tindakannya dengan berbagai alasan.

Faktanya memang begitu. Manusia bisa sangat tegas pada orang lain sedangkan pada dirinya sendiri cenderung banyak toleransi.

Gendis nggak suka ketika orang lain cuma membaca ceritanya di wattpad tanpa memberikan vote atau komentar, padahal dia sendiri sering melakukan hal yang sama. Alasannya sih cuma penasaran. Tapi, bukannya sama saja ketika orang lain melakukan hal itu pada karyanya?

Tawa Gendis keluar dari celah bibirnya. Konyol.

Selama ini Gendis terlalu sibuk menilai dan mengomentari orang lain daripada menilai dirinya sendiri. Kepalanya sibuk berpikir betapa beruntungnya orang-orang yang cantik, hidupnya sempurna dengan segudang bakat dan keberuntungan yang selalu memihak. Tanpa berpikir bahwa mereka-mereka itu juga berusaha keras untuk mencapai semua hal itu. Bukan cuma mengeluh dan menggerutu seperti dirinya.

Betapa naifnya ia selama ini. Berpikir jika ia yang paling bijak, yang paling bisa memahami orang lain dan yang paling mengerti seperti kata teman-temannya. Padahal, dirinya sama sekali jauh dari itu.

Dan Gendis nggak bisa lagi menahan tawanya ketika ia membaca di bab selanjutnya. Ada satu kalimat yang lagi-lagi menohok baginya. Kalimat yang rasa-rasanya sangat sesuai dengan hal yang baru saja dipikirkannya.

"Orang-orang sombong hanya mendengar pujian semata."

"Wah gila-gila! Nih buku ajaib bener! Kayak gini buku anak-anak? Ck, orang tua juga kayaknya harus baca buku ini!"

Dengan senyum merekah dan ekspresi geli, Gendis kembali melanjutkan bacaannya. Tenggelam dalam dunia imajinasi bersamaan dengan hal-hal kecil dalam dirinya yang perlahan mulai melunak.

Senin pagi, 27 menit menuju upacara. Gendis berjalan menaiki tangga ke arah kelasnya. Satu dari sekian banyak hal yang nggak Gendis suka dari sekolahnya, yaitu letak kelasnya yang selalu berada di lantai tiga. Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas sekarang. Sekolahnya memang menempatkan seluruh angkatan jurusan Ilmu Sosial di lantai tiga dan Ilmu Alam di lantai dua.

Banyaknya anak tangga yang harus ditapaki menjadi hal yang paling menyebalkan saat terburu-buru apalagi setelah jam olahraga, rasanya kelasnya itu sama jauhnya seperti puncak Gunung Semeru. Bahkan untuk menaruh tasnya di kelas lalu turun lagi untuk upacara saja sudah menghabiskan seluruh sarapan paginya.

"Sugar Lady!"

Panggilan itu kontan membuat Gendis berhenti berjalan dan menepi ke pembatas koridor. Cuma satu orang yang memanggilnya dengan panggilan super menggelikan itu dan tanpa repot-repot menoleh Gendis sudah tau siapa orang yang beberapa detik lagi akan berdiri di sampingnya.

BlocknoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang