Sesampainya Gendis di rumah, ia mendapatkan tatapan tanya dari Mamanya sedangkan adiknya melesatkan pandangan membunuh yang ia hiraukan begitu saja.
Sesegera mungkin ia berganti baju dan membereskan semua keperluan sekolah untuk besok. Moodnya benar-benar hancur. Kepercayaan dirinya turun drastis sampai pada titik terendah.
Untuk malam itu. Pertama kalinya Gendis menghiraukan semua notifikasi dari wattpad. Ia menaruh blocknote-nya begitu saja di meja tanpa membukanya lagi.
Gendis rasanya ingin menangis, tapi ia tak mau menangis lagi. Cukup sudah ia menangis di sekolah dan di sepanjang jalan menuju ke rumahnya. Abang ojek online yang mengantarnya saja sampai kebingungan.
Pintu kamarnya diketuk pelan. Membuatnya langsung terduduk di atas kasurnya dan menyambar buku paket di atas meja belajarnya.
"Kak!"
"Ya ma!"
"Mama masuk ya?"
"Iya!"
Gendis mengusap wajahnya secepat kilat dan membuka buku paketnya. Membaca satu kata paling atas yang ada di buku itu.
Sesosok perempuan yang tak lagi muda itu masuk ke kamarnya dengan senyum tipis. Mamanya duduk di pinggir kasurnya, tepat menghadap Gendis.
"Tadi kenapa pulangnya lama?"
"Tadi ada kerja kelompok mendadak," jawab Gendis tanpa menghadap mamanya.
"Mama khawatir kamu kenapa-kenapa. Tadi Galang bilang kamu diteleponin malah direject."
"Iya, nggak enak sama temen-temen bunyi terus."
Mamanya terdiam sejenak sebelum kemudian menepuk puncak kepalanya dua kali.
"Yaudah. Nggak mau makan dulu?"
"Nanti aja. Tadi udah ngemil," bohong Gendis.
Iya, ngemil angin di sekolahan.
"Mama tidur ya? Galang juga udah masuk kamar. Kalau mau makan masih ada sayur di kulkas."
"Iya. Mama."
Tak butuh waktu lama. Mamanya keluar dari kamarnya. Ia bisa mendengar suara saklar yang dimatikan dan disusul suara pintu kamar mamanya yang tertutup.
Gendis menghela napas berat. Ia menjatuhkan diri ke kasurnya. Buku paketnya ia taruh sembarangan di atas meja belajar.
Sepasang matanya tertuju lurus pada lampu yang berpijar menerangi seluruh penjuru kamarnya.
Kalimat yang diucapkan Yoga sore tadi masih terus terngiang di otaknya. Sebagian dari dirinya merasa malu karena tulisannya dilihat orang lain dan komentar yang ia dapat malah menjatuhkan kepercayaan dirinya.
Gendis kembali mempertanyakan semua yang ia lakukan selama ini. Semua puisi dan sajak yang ia tulis di blocknotenya. Semua kalimat dan diksi yang ia susun menjadi sebuah perantara imajinasinya.
Apa semua itu buruk? Sampai Yoga harus mengatakan bahwa blocknote dan isinya itu nggak berguna?
"Jahat banget sih tuh cowok," ujar Gendis lirih sambil menahan tangis.
Kadang ia benci pada dirinya sendiri yang terlalu mudah putus asa. Hanya karena kata-kata dari orang asing yang bahkan tak mengenalnya saja, ia bisa patah semangat.
"Lemah banget sih lo, Ge. Gimana ngadepin komentar orang-orang di goodreads? Gini aja lo langsung ngedown."
Gendis mengusap air matanya yang ada di ujung mata. Tangannya bergerak mengambil ponsel yang ada di atas meja belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blocknote
Teen FictionA wise man once said : "Magic happens when you don't give up, even though you want to. The universe always falls in love with a stubborn heart." An amazing cover by @shadriella Blocknote Elok Puspa | Oktober 2017