Setelah berhasil melalui tantangan post satu yang konyol dan menjijikan, Kevin dan Dea pun terus melangkah menuju post dua yang katanya masih sangat jauh. Jalanan yang mereka lalui saat ini kondisinya sangat menanjak karena berada di lereng bukit.
Nafas Dea mulai tak teratur. Butiran keringat mulai turun menuju pipi. Dea pun berhenti sejenak sambil membungkukan badannya. Perutnya kembang kempis, dadanya pun mulai terasa sesak. Tangan kanannya memegangi lutut dengan kuat sedangkan tangan kirinya mengusap keringat dan kotoran di wajahnya sambil memejamkan mata.
Sementara Kevin, lelaki berbola mata biru itu terus melangkah meninggalkan Dea yang tertinggal agak jauh di belakang. Lelaki dingin itu tak menoleh sedikitpun kebelakang untuk mengecek Dea.
'Kok Kevin gak nolongin Dea sih. Ya Allah buat si Kevin ke sini dong, buat dia khawatir dong, hamba mohooon' tutur dalam hati, berharap kulkas berjalan itu menoleh dan menolongnya.
Dua puluh detik berlalu, harapan Dea untuk mencari perhatian Kevin ternyata tak berhasil. Dea mendengus kesal, lalu perempuan bertubuh langsing itu berdiri tegak dan dengan sedikit berlari ia mengejar Kevin yang sudah jauh di depan.
Sesudah berusaha sekuat tenaga, akhirnya Dea dapat menyejajarkan tubuhnya dengan Kevin. Wajah Kevin tampak sangat datar seperti tembok mertua. Tak ada satu ekspresi pada lelaki itu. Dea mendesah berat mendapati orang yang ia harapkan akan peduli padanya ternyata tidak merespon apa pun. Ini benar-benar pedih melebihi kepedihan kacang yang sangat mahal.
"Jalan ada dua, yang mana yang bener?" tanya Kevin ketika mereka sampai di jalan yang bercabang. Jalan itu ada yang mengarah ke kanan berupa hutan lebat dan arah kiri yang berupa hutan pinus yang sangat luas.
Dea tampak sedikit kebingungan. Tangannya menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal. Perempuan itu mencoba membuka peta yang ia bawa dari posko panitia, "Ke kiri kayaknya," cakap Dea sambil menunjuk ke arah hutan pinus.
"Kiri?" tanya Kevin masih tak percaya. Lelaki itu mulai menggunakan kompas yang menganggantung di lehernya ke arah timur. Mata Kevin fokus gantian ke arah jarum dan ke arah hutan pinus. Setelah dirasa cukup, Kevin menutup lensa kompasnya kemudian melirik selembar kertas berisikan peta lapangan yang menggunakan derajat kompas. Tentu saja peta Dea dengan peta Kevin berbeda, mungkin semacam jebakan atau sejenisnya untuk menguji seberapa besar ilmu kepramukan yang mereka miliki.
Kevin menggeleng sambil melipat kertas itu kembali, "Kalo menurut kompas, kita harus lewat kanan, ke hutan itu," tunjuk Kevin ke arah hutan lebat yang merupakan arah kebalikan dari apa yang tadi Dea sebutkan.
"Ya udah kalo mau ke kanan, Dea mah maunya ke kiri. Sesuai peta ini." Dengan percaya diri Dea berjalan ke arah kiri, ke hutan pinus. Sementara Kevin hanya diam mematung memperhatikan badan Dea yang mulai menitik seiring kepergiannya.
'Apa Dea bakalan baik-baik aja ya?' batin Kevin khawatir. Meski lelaki kulkas itu tampak acuh tak acuh terhadap Dea, tetap saja hati tak bisa dibohongi. Di lubuk hatinya yang paling dalam, rasa sakit Kevin sangatlah terasa ketika melihat Dea cuek dan sinis terhadapnya. Entah bagaimana ia juga berlaku demikian terhadap Dea. Tapi apakah perempuan itu merasakan sakit yang sama atau tidak, Kevin tak tahu sama sekali. Semoga saja begitu, ia sangat gengsi untuk menyatakan perasaanya terhadap perempuan. Apalagi terhadap Dea yang selama ini terus mengejar dirinya.
Kevin menghela berat, ia pun mulai melangkahkan kakinya menuju hutan lebat. Hatinya mulai risau memikirkan nasib perempuan itu. Kevin takut terjadi apa-apa pada Dea. Dia malah membiarkan gadis sepolos Dea berjalan sendirian di tengah hutan. Entah bagaimana nasibnya sekarang, "Dea selamat gak yah di sana?"
"Eh kenapa gue harus perhatian sama cewek itu, dia aja gak peduli sama gue. Gak, gue gak boleh perhatian sama dia. Biarin aja lah, singa juga pasti takut sama gadis cerewet itu. Secara dia itu kan tarzanwati," tepis Kevin terkekeh sendiri.
Dengan semangat kemerdekan Kevin kembali melangkah maju menuju post kedua.
***"Tuh cowok gak peka amat sih," gerutu Dea sambil berjalan di antara tingginya jejeran hutan pinus. Hanya terdengar suara tonggeret dan burung-burung kecil yang menemani Dea saat ini. Matahari mulai mengurangi sinarnya. Binar terang dari bintang itu berhasil menembus bilah-bilah dedauan pinus yang membuatnya tampak sangat elok dipandang netra.
Dengan mulut mengunyah perempen karet, langkah Dea mendadak terhenti saat dihadapannya tanah menukik tajam yang dipenuhi dedaunan dan kaliandra, "Dea harus jalan sini?" cakap ia sambil menelisik terjalnya tanah itu.
Dea menggaruk kepalanya yang tak gatal. Perempuan itu membalikan badan dan pandangannya mulai mengamati suramnya hutan saat sore hari. Wajah Dea mendadak ngeri dibuatnya. Ia hanya bisa meneguk salivanya dengan tangan yang mulai bergetar.
"Kalo kembali ke tempat tadi jalan mana ya? Kok pada hijau semua jalannya," kelesah Dea dengan wajah ketakutan.
"Aduuuuh kemana pulangnya ini?" ucap Dea sambil memutar badannya mengamati seisi hutan.
"Keviiiin ... Dea takut ...!!" pekik Dea sambil menangis. Ia sangat takut dengan kondisi sekitar. Bagaimana jika ia tak berhasil keluar dari hutan in sebelum matahari terbenam. Apa ia harus gelap-gelapan seorang diri di tengah hutan saat malam hari. Bagaimana jika ada serigala menghampirinya, ular liar, macan dan hewan-hewan menakutkan lainnya. Semua rasa cemas telah menghantui pikiran gadis itu.
Saat ia tengah menangis ketakutan. Tiba-tiba saja terasa ada sesuatu yang jatuh ke bahu perempuan itu. Benda itu berjalan pelan membuat leher Dea sedikit gatal, "Ikh kok kayak ada yang merayap ya? Apaan ya?" cemas Dea sambil melirik ke arah bahunya.
"Hah ulat bulu?!" pekik Dea dengan mata memejam, "Aduh hush sana ... hush ...!"
Bukannya ulat itu pergi, malah binatang itu terus bergerak mendekati leher Dea.
"Aduh ... aduh ... sana ..!!"
Ulat itu terus bergerak menuju wajah Dea. Dan ketika binatang berbulu mulai merayap ke pipinya, seketika Dea menjerit keras sambil meronta ketakutan, "AAAA ...!!! GELI ...!!!"
Karena langkah kakinya di luar kendali, kaki Dea malah memijak tanah terjal itu dan terjerembab ke sana. Badannya terguling ke bawah dan mengenai beberapa dedaunan dan ranting kaliandra, "Aaaa ...!!!"
Brak ... brak ... brak ...
Tubuh Dea terpental ke sana sini. Dan saat tubuhnya hampir ke menyentuh tanah bawah, kepalanya malah terbentur batu yang menempel di tebing itu.
"Ke ... vin," lirih Dea dengan wajah dan tangan yang berdarah karena kejadian ini. Baju dan jilbabnya robek di sana-sini. Wajar saja karena tadi ia terguling melewati ranting-ranting pohoh yang jatuh dan berhasil merobek bajunya.
"Kevin ... Kevin ...." Dea terus merintih dengan badan tergeletak di atas tanah. Ia hanya bisa menjerit sekuat tenaga. Ia yakin bahwa hati orang yang saling mencintai itu saling terhubung satu sama lain. Begitu pun dirinya dengan Kevin, semoga saja lelaki itu mendegar teriakan kecilnya di antara jarak yang terpental jauh.
-- To Be Continued --
Wah si Dea kenapa ya?
Dapatkah Kevin menolong gadis itu?
Temukan jawabannya di part selanjutnya!Jangan lupa vote dan komen 😄
DAN HARI INI ADALAH TEPAT CERITA AMOR BERJUANG SELAMA SATU BULAN PAS.
Terima kasih kepada Allah SWT yang telah melancarkan pikiran dan segala kemudahannya. Terima kasih juga untuk kalian pembaca setia Amor, yang suka ngevote, ngomen dan baca.
Terima kasih untuk 21K pembaca dan 3400 vote-nya serta makasih juga untuk 10 dalam humor.
Semoga makin sukses dan jaya Aamiin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Amor ✔
Юмор[SELESAI] Best Humor Love Story 😘 Tentang si Dea gila dan si Kevin yang acuh tak acuh. Ditulis : 30 september 2017