Dengan tergesa-gesa Kevin dan Mama-nya berjalan di koridor melewati beberapa perawat dan dokter yang lalu lalang. Operasi Dea tinggal setengah jam lagi. Seharusnya mereka tiba di rumah sakit ini satu jam lebih cepat dari sekarang. Namun, namanya juga Jakarta. Tidak pagi, siang, sore atau malam sekali pun jalanan pasti macet.
Sesampainya di ujung koridor. Di sana tidak terlihat siapa pun selain lelaki berjas hitam yang tengah menundukan kepalanya dengan kedua tangan menutupi wajah.
"Hanya ada Tuan Amor saja, kemana yang lainnya?" tanya Bu Situ sambil menatap wajah anaknya karena heran.
Kevin menggeleng tak tahu. Ia pun merasa heran kenapa orang-orang tak ada di sana padahal saat ini adalah waktu yang sangat penting karena operasi Dea sebentar lagi di mulai.
"Kita tanya ke tuan Amor yuk Kev!" ajak Bu Siti sembari menuntun Kevin menuju Mr. Amor yang tengah menundukan kepalanya sambil duduk di kursi koridor.
"Permisi, ngomong-ngomong yang lain kemana yah?" tanya Bu Siti yang membuat Mr. Amor segera mengangkat kepalanya.
"Yang lain sepertinya ada di ruang operasi," jawab Mr. Amor dengan muka pucat.
"Memangnya Dea sudah di operasi tuan?"
Mr. Amor mengangguk pelan sambil kembali menundukan kepala.
"Ya sudah Mah, kita langsung ke sana aja," ajak Kevin sambil melangkah meninggalkan lelaki yang mengenakan jas hitam itu.
"Ayo, ayo!" Bu Siti pun tak kalah cepat. Mereka terburu-buru untuk menjumpai yang lain dan bertanya bagaimana keadaan Dea saat ini.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, Mr. Amor memanggil mereka berdua sambil berdiri dari tempat duduknya, "Tunggu!"
Spontan Kevin dan Bu Siti menengok ke belakang. Dilihatnya Mr. Amor berjalan ke arah mereka dengan suara sepatu pantofel terdengar jelas di tengah keheningan lorong rumah sakit di malam hari.
"Ada apa tuan Amor?" cakap Bu Siti dengan wajah tak sabar ingin segera meninggalkan obrolan ini. Sementara Kevin hanya membisa, menonton apa yang ia lihat saat ini.
"Soal Adi Alatas aku mohon ma--."
Belum selesai Mr. Amor berbicara, Bu Siti malah memontong ucapan itu dan segera meninggalkan Ayah Dea, "Itu kita bahas nanti saja, keselamatan Dea jauh lebih penting. Permisi."
Kevin hanya menatap bingung lelaki itu. Kisah dari Mama yang ia baru dengan satu setengah jam yang lalu seolah mengubah persepsi dirinya tentang sesuatu. Namun, itu kurang penting saat ini. Dengan mungkin sedang di operasi sekarang dan ia berharap semoga gadis itu bisa selamat dan kembali sehat seperti sedia kala.
Kevin bersama Mama-nya berjalan cepat melewati berbagai lorong yang sedikit menakutkan. Suara langkah kaki mereka begitu jelas karena jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Hanya tercium bau obat-obatan khas rumah sakit pada umumnya.
Sebuah papan hijau bertuliskan ruang operasi memberi penunjuk kepada mereka untuk berjalan ke arah utara. Mereka menuruti petunjuk itu, dengan langkah kaki semakin cepat akhirnya sampailah mereka di depan sebuah ruangan yang bagian luarnya terdapat banyak orang. Mereka terlihat sangat frustasi dengan menyenderkan tubuh di tembok sambil berdiri. Sedang yang lain hanya bisa menangisa sembari bersangga di bahu orang lain.
Kevin dan Bu Siti berjalan ke arah Rangga yang tengah berdiri di samping Endah.
"Angga," seru Kevin dengan nada pelan. Namun seberapa pelan pun suara lelaki itu tetap saja terdengar oleh orang lain karena suasana malam yang begitu sunyi ditambah dengan rasa duka yang menyelubungi hati mereka. Beberapa pasang secara bersamaan menatap Kevin dengan mata berkaca-kaca. Namun Kevin tak peduli. Ia tetap ingin bertanya tentang kondisi Dea saat ini.
"Gimana Dea? Kok operasi dipercepat?" bisik Kevin dengan nada lebih pelan.
"Iya Kev, pas lo pergi dari rumah sakit, dokternya bilang kalo operasinya dipercepat karena katanya dia mau pergi ke Singapur untuk tugas lain."
"Oh gitu, tapi operasinya baru dimulai atau udah dari tadi?"
"Udah satu jam setengah Kev."
"Satu jam setengah?!" Kevin tertegun dengan apa yang baru saja ia dengar. Sambil memejamkan mata, ia menyenderkan kepala di tembok berwarna putih di belakangnya dengan wajah risau dan bersalah. Bagaimana mungkin dia bisa sejahat ini, ia bahkan tidak bisa hadir disaat terpenting orang yang sangat dicintainya.
Rangga menepuk-nepuk bahu sahabatnya. Dia tahu ini hal yang berat karena di satu sisi Kevin juga manusia biasa yang tak bisa menyembunyikan emosinya. Siapapun orang di dunia ini pasti akan marah terhadap orang yang membunuh ayahnya. Namun di sisi lain, Kevin juga harus sigap dengan ada di samping Dea saat gadis itu sangat membutuhkan kehadirannya. Entahlah, ini sangat rumit dan penat untuk dipikirkan orang-orang yang biasa-biasa saja seperti Rangga, "Ya sabar Kev, Dea pasti baik-baik aja," ucap Rangga yang mencoba menenangkan Kevin.
Kevin mengangguk lesu.
Beberapa saat kemudian pintu ruang operasi terbuka bersama suara derit pelan yang membuat semua pandangan langsunh tertuju padanya. Semua orang langsung berdiri tegak dan menghampiri seorang dokter dan dua suster dengan wajah ditekuk.
"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" Bu Wida terlihat menggenggam erat lengan dokter itu sedangkan asistennya menyangga tubuh lemas majikannya yang sedari tak henti-hentinya menangis.
"Operasi anak ibu ... gagal." Jawaban dari sang dokter membuat semua tubuh lemas mendengarnya. Terutama Bu Wida yang langsung terpaku di lantai sambil menatap kosong seolah tak percaya atas apa yang terjadi.
"Bagaimana bisa gagal dok?" tanya Bu Siti yang segera mendekati dokter itu setelah mendengar pernyataannya.
"Sebelumnya kami memohon maaf yang sebesar-besarnya. Luka di lambung Ananda sudah sangat parah, kami mengalami kesulitan saat menangani pasien. Tetapi pasien akan segera kami bawa ke ruang ICU dan ditangani dengan serius oleh pihak rumah sakit."
Bu Siti dan para sahabat Dea langsung terpaku lemas. Kevin tersentak dengan apa yang baru saja terjadi, "Dea ... Rangga. Dea!"
Rangga menghela berat. Ia hanya bisa menggeleng berat. Sementara Endah sudah menangis tersedu di sampingnya. Keadaan ini benar-benar membuat semua orang berduka.
Tak berselang lama, sebuah ranjang beroda membawa tubuh Dea bersama para perawat bermasker hijau mendorong gadis itu menuju ruang ICU. Kevin dan yang lain segera bangkit mengikuti langkah para perawat itu. Hanya Bu Wida saja yang masih menangis di pinggir pintu masuk ruang operasi. Meski Dea bukan anak kandungnya, namun ibu angkat juga sama seorang ibu. Memiliki hubungan batin yang lekat meski tak ada sedikit pun darah di raga anak bernama Dea itu.
Tbc,
Bagaimanakah nasib Dea selanjutnya?
Tunggu part selanjutnya !Jangan lupa vote dan komen agar saya bisa lebih semangat menulis ...
Promosikan cerita ini ke teman kalian, saudara, keluarga dan orang-orang terdekat lainnya ...
Salam, Fikri
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Amor ✔
Mizah[SELESAI] Best Humor Love Story 😘 Tentang si Dea gila dan si Kevin yang acuh tak acuh. Ditulis : 30 september 2017