"Wajahmu terlihat semakin tua."
"Hu um."
"Jelek sekali lho."
"Iya, tau. Siapa juga yang bilang aku tampan?"
"Jadi banyak kerutan." Jungkook merasakan pipinya ditusuk asal dengan ujung jari. Ditelusuri dari pelipis, turun ke pipi, dan kembali lagi ke dahi, "Tau? Semuanya seperti coretan nama Kim Taehyung di mataku."
"Oh, ya Tuhan, Park Jimin!" Jungkook menggebrak meja. Tapi tidak cukup kuat karena pria bersurai kelam itu tetap bergeming pada posisinya. Dengan telunjuk masih menyentuh permukaan pipi, sekalipun sebelah alis terangkat naik penasaran, "Berhenti membicarakan bocah itu seolah ada hubungannya denganku!"
"Lho bukannya ada?" Jimin terkekeh tipis, "Dia menyukaimu, 'kan? Kurasa itu cukup jelas."
"Itu bukan suka. Cuma perasaan yang salah ditafsirkan."
"Dia tulus kok."
"Siapa kau untuk sok tau tentang dia, Park? Kau ayahnya?"
"Bisa dibilang begitu, Jung. Kau tau?" Park Jimin duduk sembari menyilangkan lengan. Sepenuhnya bersender pada kursi, dengan kaki kanan menekuk bertumpu pada yang kiri. Ankle boots doc marten masuk area pandang, "Kau selalu jadi topik utama. Sampai aku heran, apa dia kehabisan bahan pembicaraan atau apa."
"Makanya kubilang, hyung. Berhenti bergaul dengan bocah itu."
"Dia murid favoritku."
"Dan aku tidak habis pikir kenapa bisa begitu. Maksudkuー"
"Dia cerdas kok. Pikirannya kritis, Jung. Selalu update terhadap situasi ekonomi dan politik. Tipikal tuan muda pada umumnya. Kecuali sikapnya yang jujur kelewat gamblang. Dia pemuda berkelas."
"Berkelas ya? Yang benar saja." Jungkook mendengus remeh. Menyesap tehnya yang mendingin perlahan, "Kau pernah melihat nilainya? Hancur lebur. Parah. Menyakitkan mata. Sepertinya dia terlalu cinta terhadap tinta merah."
Dan disitu, Park Jimin sukses menggelak tawa. Menepuk kedua tangannya dengan air mata menggenang di pelupuk. Membuat pria Jeon di hadapannya hanya berkedip bingung.
Park Jimin itu, kalau dibilang berkelas, ya memang benar adanya. Status sosialnya masih jauh di atas rata-rata dibanding dosen lainnya. Segala yang dikenakannya mahal. Bahkan Jungkook berani sumpah mencium karat berlian dari anting perak yang dikenakannya di telinga kanan.
Orang kaya. Tapi jauh berbeda dari Kim Taehyung.
Pria itu terlampau tenang. Nyaris tak pernah terusik. Wajahnya selalu tertutup topeng tak terbaca. Senyumnya tipis, seolah menyimpan jutaan rahasia. Gerak-geriknya tak terbaca. Kepribadiannya nyaris sempurna.
Jeon Jungkook kadang bergidik. Bagaimana bisa seseorang bisa menjadi sebegitunya kasat mata?
Terlalu gelap, dalam dan tak bisa diselidik. Seluruh hidupnya tertutup.Mungkin, yah, mungkin.
Itu yang menjadi alasan Jungkook jadi jatuh hati.
"Kau hanya tidak tau, Jung." Park Jimin berdeham pelan. Kembali menegakkan duduk dengan sedikit bersandar pada siku kanan yang bertumpu pada lengan kursi. Menyibak rambut menggunakan tangan kiri, hingga aroma citrus yang begitu menyegarkan memenuhi penciuman Jungkook,
"Pernah lihat nilai Kim Taehyung di kelasku?"
Jungkook menggeleng, "Aku tidak tertarik terhadap elektro."
"Aku tidak menyuruhmu untuk tertarik pada subjek yang kau benci semenjak masa perkuliahan dulu, Jung. Tapi aku hanya ingin kau tau satu hal."
Jimin memajukkan wajah. Senyumnya terulas hingga Jungkook tersipu. Jarak keduanya masih sangat terbatas. Kurang dari satu meter, tapi tetap mampu membuat Jungkook pusing oleh aroma Jimin yang begitu kuat dan menusuk.
Gemetar, Jungkook menelisik,
"Kim Taehyung, menjadi murid favoritku, bukan tanpa alasan."
"Oh ya?" Jungkook mendongak, rautnya dibuat pongah. Sekalipun debaran itu tetap ada. Tak kunjung redup sekalipun Park Jimin kini menarik wajahnya menjaduh.
"Kau tau? Dia sengaja mencuri perhatianmu. Cara curang agar kau fokus pada dirinya. Memonopoli seluruh pusat atensimu terhadapnya." Jimin terkekeh, balik menyilang lengan, "Licik, memang. Tapi yah, kau tau? Itu semua disengaja. Palsu. Settingan. Dia luar biasa, asal kau tau. Dan kau itu pria tua kelewat beruntung yang harusnya bersyukur."
Jungkook menelan ludah.
Sesaat, kepalannya terasa lengket oleh keringat."Seorang pangeran, jatuh cinta terhadap upik abu. Yang sialnya terlalu tinggi ego, dan terpaku masa lalu. Harga diri dijunjung kelewat tinggi, Jung. Kuberi tau kau sesuatu," Jimin mengetuk telunjuk di atas meja kaca yang menjadi pemisah mereka,
"Semakin jauh kau berlari, semakin sulit untuk ia gapai. Dan sekali lagi kutekankan, bagi seorang upik abu, menyerah bukan berarti sekarat."
.
.
.***
A quickie.
Terkena php dosen (lagi).
