Satu hal yang Jungkook tahu secara pasti; perubahan, tidak perduli sekecil apapun itu, pasti akan terjadi.
Entah disukai atau tidak. Dikehendaki atau tidak. Manusia tidak punya kuasa untuk menolak, sekalipun memiliki usaha untuk mencegah. Ketika takdir melempar perubahan itu kepadanya, ia jelas tidak memiliki pilihan untuk mengelak.
Dan pagi itu datang lagi. Untuk yang kesekian kali.
Dimana Jungkook akan terbangun begitu terburu, menyibak selimutnya asal. Menampik segala kemungkinan dengan melewati kebiasaan bangun paginya yang teratur. Mengabaikan gordennya yang tidak ia buka, alat cukur yang tidak tersentuh, dan pergi tanpa mengucapkan salam pada dapur kecil; pojok favoritnya yang belakangan ini, membuatnya jijik bukan main.
Ia menyadarinya. Penuh. Sesuatu tengah terjadi pada dirinya sendiri. Perubahan kecil yang mungkin akan berdampak begitu besar. Entah apa, ia tidak tahu.
Beberapa hari terasa begitu menyiksa. Pun, sering kali ia menolak ajakan makan siang. Penciumannya menjadi luar biasa sensitif. Bahkan aroma musk milik Kim Taehyung, yang biasanya selalu berhasil membuatnya ingin bergelung nyaman, kini menjadi alasan ia terkelungkup begitu menyedihkan.
"Kau okay, Jung?"
Dan Jungkook, dengan suaranya yang teramat lemah, menjawab begitu lirih. Berjalan begitu tersendat keluar dari bilik, bersambut rangkulan hangat dari Park Jimin yang tengah menatapnya khawatir.
Hanya untuk berakhir ia tepis, dan memilih membungkuk di sisi wastafel. Demi Tuhan, kepalanya terasa pening sekali. Kepalanya berputar, dan pandangannya buram ketika ia menengadah untuk melihat pantulannya sendiri dari cermin.
Lingkaran hitam, bibir pucat, pipi cekung serta surai kelamnya yang terlihat berantakan. Ia terlihat lusuh dan tidak layak. Menjijikan.
"Tidak apa," gumamnya pelan. Dengan perlahan membasuh mulut yang terasa asam tidak karuan seraya menghela nafas, "Sepertinya aku cuma kelelahan."
"Kau sudah begini selama seminggu, Jung. Apa tidak sebaiknya ke rumah sakit?"
Jungkook menggeleng. Senyumnya tersungging begitu tipis, "Tidak deh."
"Kenapa? Soal biaya?" Yang dibalas dengan senyum kecut dari pria di hadapannya, "Kuberitahu, Jung. Kekasihmu itu orang kaya. Mengeluarkan duit hanya untuk membawamu ke rumah sakit pasti urusan kecil untuknya. Kenapa?"
"Aku tidak mau membuatnya repot, hyung." Gumanya lemah, "Lagipula, aku yakin ini cuma masuk angin biasa. Mungkin sebaiknya hari ini aku ijin sehari. Tidur." Jeda, ia mengatur nafasnya yang memburu, "Ya, tidur sepertinya akan membuatku merasa lebih baik."
Ia baru akan beranjak. Menggunakan kedua lengannya yang bergetar untuk menumpu tubuhnya supaya berdiri tegap. Hanya untuk menerima Park Jimin yang mendadak mencekal pergelangannya, menghempas tubuhnya hingga mereka berhadapan.
"Persetan, Jung. Kalau tidak mau membuatnya repot, kau bisa meminta padaku." Geramnya, "Kau sahabatku, okay? Aku tidak suka kau begini. Jangan berlagak sok kuat hanya untuk menjaga gengsi."
"Aku tidak menjaga gengsi. Kau berlebihan."
"Kau yang begitu, bangsat!" Park Jimin mendecih. Menatap Jungkook dengan pandangan keras hingga pria di hadapannya seolah merasa tertantang, "Sekarang, aku mau kau jawab pertanyaanku dengan jujur."
"Kau tidak punya hakー"
"Kapan terakhir kalian berhubungan seksual?"
Dan Jungkook mengerjap. Kedua matanya membelalak horror seraya terkesiap, "Kau! Apa-apaanー"
"Sudah jawab saja!"
"Tidak mau!"
"Jeon Jungkook!"
Satu helaan nafas. Jungkook merasakan genggaman Jimin pada pergelangannya mengerat. Membuatnya meringis ketika tatapan pria itu masih menusuknya terlampau tajam. Menggores isi hatinya, seolah membuatnya untuk tunduk,
"Dua minggu lalu," bisiknya, kemudian membuang muka. Menghindari tatapan Jimin yang begitu menyelidik, "Di apartemenku."
"Oh," Park Jimin mendengus remeh. Melepas genggamannya dengan sedikit menyentak; hingga pergelangan itu terhempas begitu pasrah di sisi tubuh empunya, "Dan kau masih berani bilang kalau itu hanya masuk angin biasa. Well done."
"Lalu kau mau apa? Menuduh kalau aku hamil? Jangan macam-macam."
"Memangnya apa lagi?"
"Kalau kau lupa, hyung, aku ini laki-laki. Dari dulu, dan selamanya begitu." Ia melirik sedikit. Tersipu begitu melihat pria itu memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Menatapnya begitu pongah dengan dagu yang terangkat tinggi. Surai tembaganya tersibak begitu rapi, "Aku tidak bisa ovulasi."
"Bisa, karena kau istimewa."
"Tidak ada yang istimewa dariku."
"Begitu pula dengan Min Yoongi."
Dan pria itu mendekat. Aroma citrusnya yang tajam seolah menusuk penghidu Jungkook begitu kuat. Membuat tubuhnya bergejolak, serta buku jarinya memucat,
"Min Yoongi itu istimewa. Dia anugerah, Jung." Bisiknya. Deru nafas menerpa ceruk leher Jungkook begitu panas hingga tubuhnya menggelinjang tidak nyaman, "Dia hamil, kuberitahu. Dua bulan. Anakku. Karena itu, kami menikah lebih dulu."
Dan Jungkook merasakan semestanya menggelap. Sesaat, sebelum pandangannya hilang; ia bisa merasakkan tubuhnya yang bergetar hebat, permukaan telapak tangannya yang basah, serta jantungnya yang berdebar begitu keras.
Entah akibat fakta bahwa Park Jimin sudah terlebih dahulu mencampakkan cintanya jauh lama sekali, dan berakhir dengan membuahi Min Yoongi,
Atau fakta bahwa mungkin, perubahan yang terjadi dalam dirinya kini adalah hasil dari ribuan afeksi yang ditanam Kim Taehyung?
Dan iaーtumbuh?
.
.
.***
Gue ngetik paan ci,
Apaan apaan apaan
Kzl.