Suatu hari di musim gugur; ketika kandungannya kali ini genap memasuki bulan ke-sembilan, tepatnya pada tanggal tiga belas.
Jungkook terbangun pada pukul tiga pagi. Dengan tangan yang menyengkeram erat lengan Taehyung. Keringat menuruni pelipis. Deras sekali, mengalahkan rinai yang menari dalam gerimis.
Sakit.
Sakit sekali.
Sakitnya melilit-lilit. Menyiksa bagai ditikam dengan belati berulang kali. Seolah dikoyak hingga tubuhnya berasa seolah ingin dibuat mati.
"Ya Tuhan, Jungkook! Kau akan melahirkan?!"
Di tengah isaknya, Jungkook menggeleng. Cengkeramannya kian mengerat. Mengoyak daging Taehyung dengan ujung kuku. Kian perih kala jemari itu menggerit turun.
"Belum, Taehyung. S-sepertinya ini kontraksi palsu." Jungkook menarik nafas. Pandangannya buram; dadanya terasa kian sesak ketika sakit itu makin menjadi, "Ini hal yang biasa. D-dia harusnyaー"
Dan Jungkook menjerit. Sekali lagi, meraungi nama Taehyung. Memanggilnya hingga vokalnya meluruh dalam gema. Menangis tak berdaya. Kian terisak kala darah membasahi dalamannya hingga menggenang di atas ranjang. Membasahi kaki.
Pukul enam; Jungkook menemukan dirinya terbaring kembali di atas ranjang.
Hanya saja kali ini, bukan langit-langit kamar apartemen mereka lah yang ia pandang. Melainkan sebuah dinding putih. Dengan bau alkohol menyesakkan yang kian menyusupi relung paru.
Bersamaan dengan suara bising derik roda. Gemerincing alat logam. Desisan suara orang sibuk. Sayup-sayup; sebentar muncul lalu hilang lagi.
Tubuhnya lemas. Dengan pasrah membiarkan perawat lain melucuti pakaiannya. Mengganti kain penutup tubuhnya dengan baju hijau; sebelum mendorong ranjangnya menuju ruang yang penuh akan bau obat. Menusuk.
Hingga wajah Kim Taehyung muncul di sisinya. Mengecup keningnya begitu sayang, seraya menggenggam tangannya erat. Bergantian mengecupi punggung tangan hingga jemari satu demi satu.
"Aku mencintaimu, Jungkook." Bisiknya dengan bibir yang masih setia menyapu kening, "Cinta sekali. Kau bisa, sayang. Istriku kuat."
"S-sakit, Taehyungー" Isaknya terengah, "S-Sakit sekali. T-Tidak tahan."
"Kau bisa. Aku percaya kau bisa, sayang." Kemudian, pemuda itu balas mencium bibirnya hati-hati, "Kau bisa, karena kau yang paling kuat." Lantas ketika Jungkook menggeleng; dengan air mata yang deras menyapu pipi, ia berucap lagi, "Ayo berjuang sedikit lagi, demi anak kita? Aku disini, chagi."
Maka Jungkook membiarkan netranya mengatup. Menikmati sentuhan halus jemari Taehyung pada helaian surainya yang melekat pada dahi. Menyisirnya satu per satu, ketika dokter mulai memberinya anastesi.
Sejenak, dalam benak Jungkook; tergambar sosok seorang bayi.
Kecil. Mungil. Begitu rapuh dan tidak berdaya. Dengan kedua tangannya yang menggapai begitu ingin. Dua mata yang menatapnya dengan binar begitu ingin tahu. Juga sepasang kaki yang bergerak malu-malu.
"Siapa dokternya?"
Sayup, Jungkook mendengar gemetar suara Kim Taehyung dari sisi kanan. Pemuda itu gugup, ia tahu.
"Kim Seokjin." Sahut suara lainnya yang adalah wanita, sebelum Jungkook merasakan perlahan suaranya berubah gelap, "Dia tidak mungkin melahirkan normal, tuan. Ketubannya sudah pecah."