Satu minggu berlalu dengan cepat, aku mulai menjalani rutinitasku seperti biasa, setelah libur sekolah selama dua hari untuk merawat Jimin kecil.
Ini hari Senin di minggu pertama adik kecilku mulai bersekolah, kini ia sibuk menatap cermin dengan bantuan beberapa asisten rumah tangga kami.
Dia norak, tapi menggemaskan.
Jimin terus memprotes tatanan rambutnya juga kaus kaki dan sepatunya yang tak senada dengan seragam khas Taman Kanak-Kanak itu.
Cukup menyebalkan sebenarnya, mendengar dia terus mengoceh, menolak di dandani, dan terus merengek membuat para asisten rumah tangga kami kebingungan.
Yang lebih menyebalkan lagi adalah, dia melakukan aksi merengeknya di kamarku. Jelas-jelas aku juga tengah sibuk menyiapkan diriku untuk sekolah. Bocah kecil itu malah ikut-ikutan sibuk di kamarku.
"Tapi, tuan muda Jimin. Ini cukup baik untuk digunakan ke sekolah. Tak akan ada orang yang mempunyai sepatu sama seperti ini." Ujar Bibi Oh. Dapat kulihat, sepertinya Bibi Oh juga mulai frustrasi membujuk Jimin.
Aku pun menghela napas, menggaruk alisku yang tak gatal dan menghentikan kegiatanku untuk memasang kancing kemejaku. Kulangkahkan kakiku ke arahnya dan memberikan gestur kepada para pelayan untuk meninggalkan kamarku. Membuat Jimin mem-pout-kan bibirnya bingung.
"Jiminie belum selesai!" Kesalnya sembari melipat kedua tangannya di dada.
Oh! Lucunya..
Aku pun sedikit menarik kursi kecil di depan lemari berhias itu, membuat Jimin terkejut dan mencengkeram kedua sisi kursi. "Uwoh~ hyung!" Ia memekik sebal.
Aku sedikit terkekeh kemudian berjongkok di depannya. Menatap Jimin dengan pandangan yang selama ini selalu kuberikan padanya. Walaupun tak ada satu di antara kami yang mengerti mengapa, tapi tatapan ini.. membuat wajah kami berdua memerah dan hati kami menghangat.
"Hyung.." Jimin melirih, kakinya bergoyang-goyang kecil dan mata sipit nan bulatnya melebar. Jimin kecil sedang malu.
"Mine," aku meraih kedua tangan mungilnya untuk kugenggam. "Kau adalah anak yang paling tampan yang pernah kulihat. Apapun barang yang dikenakan selalu terlihat indah, jika Jiminie yang menggunakan." Aku mengusap pipinya yang memerah dengan ibu jariku.
Pipi tembamnya terasa begitu lembut di tanganku. "Hyung suka apapun yang Jimin kenakan, karena Jimin akan selalu terlihat manis. Jadi.. jangan lagi memprotes apa yang Bibi Oh pakaikan padamu. Karena tak peduli barang semurah apapun itu, hal itu tidak dapat mengurangi keindahanmu yang menawan."
'Oh Tuhan! Apa aku baru saja salah bicara? Kenapa jantungku berdegup secepat ini? Kenapa suasana ruangan ini berubah?'
"H-hyung, Jiminie gerah." Ujarnya sembari mengipasi tubuhnya dengan tangan-tangan mungil itu.
"O-oh, iya Jim. Sepertinya pendingin ruanganku harus diperbaiki. Jya! Bukankah ini adalah waktunya untuk sarapan?" Ujarku mengalihkan perasaan gugupku.
"I-iya hyung. Sepertinya begitu." Jimin mengangguk setuju. Namun saat aku berdiri dan bersiap beranjak, jemari kecil itu menarik ujung kemejaku, membuatku berhenti bergerak dan menunduk menatap dirinya.
"Ada apa Jim?" Ia tak menjawab pertanyaanku, namun justru menarik lenganku dan menjadikannya tumpuan untuk dirinya berdiri. Membuatku refleks memegangi pinggangnya, berjaga-jaga agar ia tak terjatuh.
"Sini hyung, biar Jiminie bantu. Kau bodoh tidak bisa memasang kancing baju dengan benar." Ujarnya saat ia sudah berdiri di atas kursi rias.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE, MINE (SUDAH TERBIT)
FanfictionA Yoonmin Fanfiction "Orang bilang merasa cemburu saat saudara kita telah dimiliki orang lain adalah hal yang wajar. Tapi bagiku, apa benar begitu?"