Lelaki itu terus menggigit kukunya, merasa panik akan berita yang baru saja ia dengar. Ditambah lagi ocehan wanita yang kini terus mengganggu dirinya. Ia berjalan mengitari kamarnya, terus memikirkan rencana apa yang bisa ia lakukan untuk mencegah kegagalan terjadi pada rencananya.
"Kim Jungkook! Jawab Mama! Apa semua yang mereka ceritakan itu benar? Apa kau memerintahkan Taehyung untuk membunuh sahabatmu sendiri?"
Ia mengepalkan kedua tangannya erat, hingga kuku-kuku tangannya mulai melukai kulitnya. Membuatnya berdarah. Tubuh Jungkook mulai bergetar hebat, menahan emosi yang mulai mendidih di dalam dada dan kepalanya.
"Apa pedulimu!" Ia berteriak. "Kau ingin membela Jimin lagi? Memuji lagi dia dan merendahkanku? Seperti yang selama ini kaulakukan, begitu?" Matanya membelalak lebar, mempertunjukkan emosi yang mendidih dalam dirinya. Membuat wanita di depannya menatap putranya terkejut. "Kenapa? Kaupikir aku adalah anak yang baik? Anak naif seperti Jimin?"
Jungkook tertawa. Suaranya menggelegar namun kosong. Air matanya turun begitu deras, seiring dengan ia yang mulai merunduk merasakan nyeri di perutnya karena tawa yang masih tak bisa ia hentikan. Hingga perlahan tawa nyaring itu mulai berhenti, dengan dirinya yang kembali mencoba berdiri tegak. Menyeka sudut matanya dengan punggung jari telunjuk.
"Hah~ kenapa air mataku tidak berhenti?" Jungkook menghela napasnya sembari terus menghapus air matanya dengan punggung tangan.
Nyonya Kim mulai merasakan denyutan di dalam dadanya. Sesuatu yang tak pernah ia lihat dari Jungkook-nya, hari ini memukul batinnya telak. Membuatnya mengakui, apa yang selama ini enyahkan dari dalam hatinya.
Namun bukan memeluknya dan meminta maaf, serta menyatakan bahwa ia mencintai Jungkook-nya. Wanita itu justru menangis, menahan desakkan amarah yang kini menguasai hatinya.
"Jadi kau benar-benar melakukannya? Kau membuat kakakmu terlibat hanya untuk membunuh Jimin? Hah! Katakan padaku Kim Jungkook!" Ia mencengkeram bahu putranya, membuat Jungkook yang sibuk menyeka air matanya harus meringis kecil. "Kenapa kau membuat tangan kakakmu kotor, hah? Kenapa kau tidak melakukannya sendiri? Kotori saja tanganmu lalu mendekam di balik jeruji! Aku menyesal telah melahirkan monster seperti dirimu!"
Jungkook tercekat kala ia merasakan getaran tubuh sang ibu di pundaknya. Wanita itu, benar-benar marah padanya.
Ia yang semula meringis, kini menjatuhkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Mata bundarnya menatap wanita di hadapannya nanar, netranya bergetar menahan sesak yang tercekat di tenggorokan. Darah mulai mengalir dari telapak tangannya ke atas lantai marmer itu, tapi dia tak peduli. Ada bagian tubuh lainnya yang terasa lebih sakit.
"Menyesal?" lirihnya layu. Ia menatap ke dalam netra kecokelatan yang selama ini selalu ia rindukan hadirnya. Mencari kasih sayang yang ia pikir, mungkin akan tersisa secuil untuknya. Namun sayang, getaran yang ada di dalam netra yang ia sayang. Hanya menunjukkan kepedihan dan amarah yang mendalam. Membuat Jungkook tahu, pilihan apa yang harus ia ambil sekarang.
"Ya, aku menyesal telah memiliki putra sepertimu." Wanita itu membiarkan air matanya terjatuh dan giginya bergemeletuk. "Aku menyesal, karena aku sudah memilih untuk membesarkanmu."
Kedua mata bundar yang kini berairmata itu, menatap tajam wanita di depannya. Hingga saat wanita itu menangis dan melepaskan tangannya dari pundak Jungkook, ia kehilangan kendalinya dan mulai berteriak dengan kencang.
Berjalan penuh emosi ke arah laci nakas di samping tempat tidurnya, mengubrak-abrik semua isi laci itu dengan terburu. Hingga ia menemukan sebuah buku tipis di sana.
Meraih buku itu dengan tangannya yang bergetar, membuka lembar demi lembar dengan terburu. Tak peduli jejak darahnya menempel dalam lembar putih itu, hingga ia menyerah mencari. Menggeram rendah, lalu menggoyangkan sebarang buku itu. Hingga sebuah pisau lipat terjatuh di antara kedua kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE, MINE (SUDAH TERBIT)
FanfictionA Yoonmin Fanfiction "Orang bilang merasa cemburu saat saudara kita telah dimiliki orang lain adalah hal yang wajar. Tapi bagiku, apa benar begitu?"