Dahi itu berkerut bingung, meletakkan alat makan di tangannya ke atas meja. "Lagi?" ujar Namjoon tak percaya, "apalagi kali ini, Yoon? Apakah Paman Min tidak pernah merasa jera? Tidakkah dia takut akan kembali melukai Jimin seperti dulu?"
Yoongi menggelengkan kepalanya. "Aku yakin kali ini dia akan menyingkirkanku, Joon. Setiap perkataan yang dia ucapkan padaku, aku yakin betul. Dia tidak main-main dan dia tidak akan mengalah kali ini."
Namjoon mengembuskan napasnya lelah. Ia mengangguk malas seraya menautkan kedua tangannya di atas meja. "Lalu apa keputusan kalian?"
"Aku tidak akan menyerahkan Jimin seperti dulu." Yoongi menundukkan pandangannya, menatap kosong kotak makanannya yang masih penuh. "Jimin juga tidak menginginkannya." Ia menghela napasnya kasar lalu mengacak rambutnya frustrasi. "Entahlah, Joon. Aku tahu ini adalah sebuah kesalahan, tapi aku tidak bisa mundur. Aku terlalu mencintai Jimin. Dan semakin aku berusaha menjauhinya, semakin aku menggila karena rasa sesaknya."
Hening mengisi suasana mereka untuk sejenak, hingga akhirnya Namjoon kembali mencoba berbicara, "Aku minta maaf, Yoon. Tapi aku juga tidak bisa menjawab kegelisahanmu. Hanya saja, melihat bagaimana kalian berkorban untuk satu sama lain, bahkan tak peduli jika penderitaan yang harus kalian lewati itu lebih besar daripada apa yang hati kalian persiapkan, aku pikir perasaan kalian memang tidak sedangkal itu."
Ia menarik napasnya dalam. "Yoongi, jika pun pada akhirnya kalian harus berpisah. Bagaimanapun akhirnya, aku dan teman-temanmu yang lain sangat mengetahuinya. Bahwa kau dan Jimin tulus untuk satu sama lain. Kami akan mendukung apa pun keputusan kalian. Terlepas dari kata benar atau salah. Karena kalian yang menjalaninya, kupikir kalian akan mengetahui jawaban itu dengan sendirinya. Kau tahu, aku hanya berharap, Jimin akan terbebas dari segala rasa sakitnya. Dan kau, adalah satu-satunya harapan itu."
***
Harapan.
Yoongi benar-benar membencinya. Namjoon mengatakan semua itu padanya, mengatakan bahwa ia adalah sebuah harapan.
Harapan bagi Jimin-nya.
And yet, he doesn't even know how to make it real.
Yoongi tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
Ia tidak ingin melukai Jimin.
Yoongi tidak ingin melepaskannya lagi. Tidak untuk Seunghyun, dan tidak atas nama kebaikan mereka sendiri.
"Kau memikirkan sesuatu, Hyung?"
Yoongi menarik napasnya terbata, menurunkan pandangannya pada Jimin yang berada di dalam dekapan hangatnya, di tengah temaramnya lampu kamar Yoongi malam ini.
Yoongi tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya. Mengecup dahi Jimin lembut. "Tidak, aku tidak memikirkan apa pun."
Jimin mencebik kecil dan mencium leher Yoongi pelan. Menikmati wangi pinus yang menguar dari tubuh kekasihnya, lalu berkata, "Tapi kau terus menerus menghela napas, Hyung. Sesuatu yang buruk di kantor terjadi?" Tangan mungilnya yang semula memeluk pinggang Yoongi, kini bergerak untuk mengusap perut dan dada lelaki yang begitu dikaguminya. "Ingin bercerita?"
Yoongi memejamkan matanya, berusaha untuk rileks dan membiarkan sentuhan Jimin memabukkan dirinya. Ia menggeser tubuhnya, mencari posisi yang paling nyaman dalam berbaring.
Membuat Jimin tersenyum lega dan terus mengusap kekasihnya, berharap ia dapat memberikan rasa nyaman. "Yoongi Hyung menyukainya?"
Masih dengan mata yang tertutup rapat, Yoongi berdeham kecil.
"Usapanku pada dada Yoongi Hyung. Hyung menyukainya?"
Yoongi membuka matanya dan terkekeh, menahan gerakan tangan Jimin lalu meremas jemari mungilnya. "Kau manja sekali malam ini. Sesuatu sedang mengganggumu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE, MINE (SUDAH TERBIT)
FanfictionA Yoonmin Fanfiction "Orang bilang merasa cemburu saat saudara kita telah dimiliki orang lain adalah hal yang wajar. Tapi bagiku, apa benar begitu?"