Fast up~
Yoongi's PoV
Langit pagi selalu terlihat mendung bagiku, bahkan jika langit bersinar dengan mentari paginya. Biru muda dilangit pagiku selalu berembun basah. Entah kenapa, rasanya bak tangisanku yang selalu terasa dingin. Memandangi langit pagi, menjadi kebiasaanku selama bertahun-tahun. Berharap aku bisa melihat bagaimana sang surya menaiki tahtanya, warna kuning yang cerah itu selalu membuat embun perlahan menguap, begitu juga tangisku.
Hampir delapan tahun lamanya, aku tak bisa melihat matahariku bersinar. Bahkan membunuh waktu pun terasa percuma, musik yang selalu menjadi kebanggaanku serasa tak lagi hidup. Aku hanya bisa terdiam dan berpikir, menanti kapan aku bisa kembali bertemu dengan sang mentari, melihatnya dari dekat dan memeluk dirinya erat, menjaganya tetap hangat dalam pelukanku. Bak bulan yang selalu menunggu saat gerhana tiba, menunggu agar lariku bisa mencapai wajah sang surya. Ya, aku perlu satu tahun lagi untuk menunggu matahariku kembali bersinar.
Beberapa kali gerhana bulan terjadi, aku selalu memperhatikannya dan tersenyum saat putaran sang rembulan terhenti tepat dihadapan sang surya, memeluk sang surya erat. Menikmati menit bersama, ya.. aku tersenyum melihatnya, melihat bagaimana sang rembulan memeluk erat mentari, menyalurkan rindu yang membelenggu, tanpa menyadari ketika bulan dan matahari saling memeluk, bumi menjadi lebih gelap. Sang surya kehilangan cahayanya, dan kisah mereka tak pernah dapat terukir lama.
Apa memang bulan dan matahari ditakdirkan hanya untuk berdampingan tanpa saling memiliki?
"Hyung," rengekan manja yang kudengar ditelingaku membuatku tersenyum, sejenak melupakan kisah cinta bulan dan sang mentari. "Aku rindu." Ujarnya dibalik punggungku, aku tahu dia tengah malu. Maka aku melepaskan pelukannya dari pinggangku dan menariknya untuk berdiri disampingku. "Hyung! Kookie 'kan kedinginan, kenapa tidak mahu Kookie peluk sih?" Aku terkekeh saat remaja manis itu merajuk. Dia masih tetap sangat menggemaskan.
"Berhenti memelukku dari belakang, aku tidak bisa melihat wajah manismu itu nanti." Godaku sembari menyesap kopi hitam favoritku yang kupegang disebelah tanganku. Dia mengerucutkan bibirnya sebal, "berhenti minum kopi sebelum sarapan, hyung. Kau bisa menyakiti lambungmu." Ia menepuk kecil perutku dan sesekali mengusapnya lembut. "Kendalikan hormon pagimu bocah kelinci, aku tidak tertarik." Terangku, membuat Jungkook semakin mengerucutkan bibir tipisnya.
"Hyung.." ia melirih dengan nada manjanya, "bagaimana rasanya Americano?" Jemarinya mulai menyentuh urat dilenganku, menyusurinya hingga naik ke bahu. "Kau mahu?" Tanyaku sembari mengulurkan mug tinggi berisi kopi dari tanganku. Dia mengangguk senang, "tapi Kookie belum sarapan, boleh Kookie mencicipinya saja?" Aku menganggukkan kepalaku, "tentu, cobalah." Ujarku sembari memberikan mug itu padanya.
"Tidak, bukan begini." Jungkook mendorong pelan mug ditanganku, jemarinya beralih menggenggam punggung tanganku yang masih memegang mug. "Ini, masih pagi hyung, aku takut lambungku sakit jika terlalu banyak meminum kopi." Jemarinya mulai meraba lengan atasku, berakhir dibahu seperti lengannya yang lain, perlahan mengaitkan kedua tangannya di tengkukku. "Bagaimana kalau dari dirimu saja, hyung? Bibirmu pasti masih menyimpan rasa kopinya." Ia mendekatkan kepalanya dan menarik tengkukku mendekat, membuatku terkekeh akan usahanya untuk mendapatkan ciuman pertama dariku.
"Nanti, sayang." Aku menjauhkan kepalanya dariku dengan mug yang ada ditangan kiriku, mendekap pinggangnya dan menatap wajah kesalnya dengan senyuman. Jungkook memang sangat lucu saat ia menginginkan sesuatu. "Lalu kapan? Kenapa kau tidak mahu menjadi first kiss-ku hyung? Apa bibirku tidak menarik?" Aku tertawa dan mengecup pucuk hidungnya, "kita bukan kekasih, dan kau masih kecil. Lulus Junior High saja dulu, baru memikirkan tentang hal ini."
Dia melepaskan kaitan jemarinya dari tengkukku, menurunkan tangannya hingga dadaku. "Tapi menyentuhmu seperti ini tak apa bukan?" Aku tertawa renyah dan mencubit pipinya gemas. "Apa yang Taehyung lakukan sehingga membuat dirimu seagresif ini? Apa dia mengajarimu hal yang salah?" Dia mengendikkan bahu, "hanya video sex. Kau tahu, kebutuhan remaja laki-laki." Lagi-lagi aku tertawa dibuatnya, "Taehyung benar-benar kakak yang buruk."
Dia melepaskan diri dariku dan memutar matanya malas, "ya, ya, ya. Terserah kau saja, ayo sarapan. Aku membuat nasi goreng kimchi untukmu hyung." Kesalnya sembari berjalan keluar dari kamarku. Ya, Kim Jungkook dengan rajin menemuiku di pagi hari, membawakanku sarapan yang khusus dia masak untukku. Terkadang aku merasa tak enak pada kedua orangtuaku, karena aku akan memakan makanan yang berbeda dari mereka, dan Jungkook akan menatapiku sembari tersenyum dimeja makan. Seperti saat ini--
"Hai Eomma! Appa!" Ujarnya pada kedua orangtuaku yang tengah duduk dimeja makan, mencium pipi mereka dan menyiapkan makanan untukku sarapan. "Halo, Jungkook. Another breakfast for your future husband?" Goda Ibuku, dapat kulihat pipi Jungkook memerah karena ucapan Eomma-ku. "Berhenti menggodanya, nyonya Min." Ujarku sembari mencium pipi Ibuku.
"Ayo makan, hyung." Dia tersenyum, masih dengan pipinya yang memerah. "Terimakasih," ujarku sembari mengelus lembut pipi merahnya.
--setelah selesai memperhatikan makanku, Jungkook akan menyiapkan segala kebutuhanku untuk berangkat ke kantor. Ya, Min Yoongi yang berusia 24 tahun ini sudah bekerja. Aku menjadi General Manager di perusahaan pusat milik Ayahku, ia memintaku untuk belajar dari bawah. Memulai semuanya dari hal kecil, hingga aku tahu dan paham bagaimana caranya mengelola perusahaan keluarga Min.
"Hyung, ini untuk makan siangmu, aku menjaganya tetap hangat untuk kau makan siang nanti, ini juga ada Americano favoritmu, uh.. dan.. ini dia," serunya saat melihat apa yang dia cari. "Bawa coat ini bersamamu, sore nanti akan turun hujan. Aku tidak mahu hyung kedinginan." Ia selalu bisa membuatku tersenyum dengan segala perhatiannya padaku. "Dan yang terakhir, tasmu." Ia menyerahkannya padaku sembari tersenyum.
"Terimakasih, Kook. Ayo berangkat, kau bisa terlambat." Dia mengangguk semangat dan mengapit lengan kiriku dengan tangan kanannya, berbalik kebelakang dan melambaikan tangan pada kedua orangtuaku. Aneh memang, semestinya Jungkook diantarkan langsung oleh supirnya ke sekolah, tapi dia akan tetap meminta supirnya untuk meninggalkan dirinya dirumahku pagi-pagi sekali. Dan berakhir dengan aku yang harus mengantarnya ke sekolah.
Sedikit banyak, aku merasa bersyukur Jungkook tetap menjadi teman baikku. Dia tak pernah merasa jera sebanyak apapun aku menolaknya. Jungkook tak pernah patah semangat mengejar hatiku yang sampai saat ini masih tak bisa kubuka seutuhnya. Dia selalu berkata,
"Aku percaya pada kekuatan cinta, hyung. Aku pasti sudah membuka sedikit demi sedikit celah dihatimu. Lagipula aku tampan dan menarik, mana tahan kau terus menolak kesempurnaanku."
Ia tak merasa risih padaku, saat aku terus mengabaikan dirinya waktu sibuk. Jungkook akan terus menunggu di kantorku hingga aku selesai bekerja dan ia akan pulang bersamaku, tak peduli walaupun langit berubah sangat gelap. Pernah beberapa kali aku memintanya untuk pulang lebih dulu dan berniat untuk menghubungi supirnya, tapi ia selalu menolak.
"Tak apa, tugasku sudah kuselesaikan di sekolah saat istirahat tadi. Aku akan menunggu Yoongi hyung selesai bekerja."
Dia selalu ada disaat aku merindukan Jimin-ku, membuatku merasa bahwa cinta dari Jungkook untukku begitu tulus. Jungkook akan selalu mendengarkanku bercerita tentang Jimin, dia akan selalu menanggapinya dengan cara yang tepat. Membuatku tersenyum karena merasa bahwa Jimin juga pasti merindukanku. Beberapa tahun terakhir Jungkook semakin gencar menarik hatiku, membuatku perlahan membuka diriku untuknya.
Bukankah selama ini, dia jugalah yang menemaniku menjalani hari?
Kupikir, sudah saatnya untukku membiarkan Jungkook menjadi pemilik hatiku. Bukankah itu akan membuat semuanya menjadi lebih baik?
*****-tbc-
January, 17th 2018
-1stWings-
KAMU SEDANG MEMBACA
YOU ARE, MINE (SUDAH TERBIT)
FanfictionA Yoonmin Fanfiction "Orang bilang merasa cemburu saat saudara kita telah dimiliki orang lain adalah hal yang wajar. Tapi bagiku, apa benar begitu?"