Vanya menelungkupkan wajahnya pada bantal kesayangannya, menumpahkan tangisan yang sejak tadi ia tahan. Sejak kejadian tadi, Vanya terus menangis, Romeo pun sempat kasihan melihat Vanya, entah ada perasaan bersalah pada laki-laki itu.
Romeo memang menyukai Vanya, Romeo selalu melihat Vanya dari jarak yang cukup jauh agar tidak terlihat oleh Vanya. Romeo melakukan ini hanya untuk membuat Vanya sadar kalau dirinya salah berpacaran dengan cowok seperti Dhirga. Namun hal yang tidak terduga olehnya adalah Vanya semakin terpuruk karena terpisah dengan Dhirga.
Sejak kepulangan Vanya dari cafe tersebut, ia langsung memasuki kamarnya tanpa memperdulikan pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan oleh mamanya. Vanya bahkan menutup pintu kamarnya dengan keras sehingga menimbulkan dentuman yang sangat keras.
"Van.. Ini kita, buka pintunya dong. Makan dulu, kata tante Raya lo belum makan dari tadi siang" suara Intan tidak membuat Vanya membuka pintunya, ia malah menulikan telinganya dan tidak memperdulikan gedoran pintunya yang semakin keras.
Intan menatap nanar pintu kamar dihadapannya itu.
"Gimana dong? Vanya gak mau buka pintunya," ucap Intan pelan kepada Handa dan Okan. Aya yang entah kenapa hari ini tidak bisa datang, ia hanya menitipkan pesan kepada Vanya.
"Gue juga gak tau, apa telfon kak Dhirga aja gimana?" Usul Handa. Namun Intan Dan Okan hanya diam, mereka berfikir kalau penyebab Vanya mengurung diri di kamar karena Dhirga.
Vanya sempat berpamitan saat disekolah tadi, mengatakan bahwa ingin mencari Dhirga. Intan juga tidak tau pasti apakah Dhirga penyebab Vanya begini, dan Intan ingin segera masuk ke kamar Vanya Dan menanyakan mengenai semuanya.
"Gak usah telfon dia, ntar masalahnya tambah ruwet," jawab Okan yang pemikirannya sama dengannya.
Handa mengangguk pasrah, "Tanya tante Raya aja, ada kunci cadangan buat kamar Vanya gak." usul Intan.
"Biar gue yang panggil tante Raya," ucap Okan.
Sambil menunggu kedatangan Akan kembali, Intan masih berusaha mengetuk pintu kamar Vanya. Beberapa kali ia terus mengetuknya, bahkan tangannya sudah lelah karena sedari tadi mengetuk pintu dihadapannya itu, berharap pintu tersebut akan terbuka namun hasilnya tetap sama, Vanya masih tetap pada pendiriannya.
Handa yang sedari tadi memegang nampan berisi makanan langsung merosot duduk di lantai, kakinya sangat pegal karena terus berdiri. Bahkan mereka bertiga masih menggunakan pakaian sekolah mereka, karena terlalu khawatir pada keadaan Vanya.
"Sabar ya, Okan nyarinya ke korea kali ya? Lama amat" gerutu Intan sedikit sebal karena Okan belum saja datang.
Akhirnya setelah lama menunggu, Okan berlari menuju kearahnya dengan nafas yang ngos-ngosan.
"Duh maaf lama, tante Raya tadi gue liat mau pergi, pas mau naik taksi gue teriakin tapi enggak di dengar sama beliau, terus gue lari ngejar tuh taksi dan untung aja ada ada anak kecil yang naik sepeda. Huh.. " Okan menjeda ucapannya untuk menarik nafas.
"Terus gue srobot aja sepedanya, gue pake buat ngejar tante Raya, pas di lampu merah gue langsung ketok jendela tuh taksi dan tante Raya keliatan kaget gitu, saat gue jelasin ke beliau dia ngasi ini ke gue. " lanjut Okan sambil memperlihatkan sebuah kunci ditangannya.
Intan mengangguk mengerti lalu mengambil kunci tersebut, dengan cepat ia langsung membuka pintu itu dan nampaklah seorang perempuan cantik tengah termenung di sofa single yang menghadap langsung ke arah jendela.
Ketiga orang itu langsung menghampiri Vanya, memeluknya erat seolah-olah Vanya akan pergi jauh meninggalkan mereka. Awalnya Vanya terkejut dengan kehadiran ketiga sahabatnya yang tiba-tiba berada di kamarnya, namun ia tetap berusaha bersikap tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Bad Boy
Teen Fiction"Ini namanya pemaksaan!" "Gue gak peduli, yang penting lo jadi milik gue" "Lo siapa? Berani banget nge klaim gue" "Sekarang gue pacar lo, Devanya Robertson" "Dasar pemaksa!" "I love you too" Pertemuannya dengan senior badboy membuat Vanya tidak tena...