Dhirga menundukkan kepalanya, menahan amarahnya untuk menghancurkan apapun disana. Melihat tubuh Vanya yang melemah membuat dirinya merasa gagal untuk menjaga gadisnya itu. Kini laki-laki itu juga mendapatkan penanganan intensif karena dahinya terus mengeluarkan darah, ada beberapa luka dalam yang juga dialami oleh Dhirga akibat dari perkelahiannya.
"Permisi, apa anda keluarga dari Devanya?" Tanya seorang dokter yang menangani kondisi Vanya ketika di bawa ke ruang ICU.
Dhirga mengangguk antusias, tangannya mengepal erat seperti ada ribuan pisau yang menusuk tepat di hatinya ia menghampiri seorang pria berambut putih itu.
"Iya saya sendiri, bagaimana keadaan Vanya?" Tanya Dhirga. Kepalanya benar-benar terasa sakit, namun tidak sebanding dengan apa yang dirasakan gadisnya itu. Di dalam ruang ICU dan beberapa selang pun masih menempel rapi di seluruh badan kurus perempuan manis itu.
Dhirga tak kuasa menahan air matanya ketika melihat kondisi Vanya yang sangat menyedihkan, ia hanya bisa berharap akan keajaiban yang dapat membebaskan gadisnya itu dari semua siksaan ini.
"Anda tenang saja, suadari Devanya tidak mengalami luka apapun, infusnya juga masih terpasang namun yang membuat saya bingung, kenapa infusnya berpindah ke lehernya? Padahal pagi tadi saya yang menggantikan infus saudari Devanya di bagian tangannya." Ungkap dokter tersebut. Dhirga mengerutkan keningnya, kepalanya terasa berputar dan berkunang-kunang.
'teka-teki apa lagi ini?' desisnya
"Enggak mungkin, saya sendiri yang melihat bekas lebam di tubuh Vanya dok!" Sentak Dhirga. Matt dan Reihan yang baru datang sontak berlari untuk menahan gejolak amarah Dhirga.
Dhirga merasa semakin dimainkan oleh takdir. Tidak mungkin ia salah melihat bekas lebam tersebut, jika masalah infus mungkin bisa saja karena infus tersebut telah dipindahkan ke leher gadis itu. Apa ada yang sudah merencanakan ini?
"Begini, Anda tenang dulu. Itu bukanlah bekas lebam, itu hanyalah lipstik atau alat makeup apapun yang digunakan seolah-olah terlihat seperti bekas lebam dan cekikan." Ungkap dokter paruh baya itu sambil tersenyum kecil.
"Apa?!"
Dhirga kian menjadi-jadi, ia memberontak untuk melepaskan dirinya dari cengkraman Matt. Tanpa menunggu lama lagi, Dhirga masuk ke dalam ruangan yang dimana telah ditempati oleh gadisnya yang lemah itu.
Dokter paruh baya itu hanya bisa tersenyum lalu mengintruksikan kepada Matt dan Reihan untuk mengawasi keberadaan laki-laki tempramen yang menghampiri Vanya ke dalam ruangan.
"Dasar budak-budak cinta." Gerutu dokter tersebut sebelum akhirnya meninggalkan Matt dan Reihan yang masih melongo melihat insiden absurd barusan.
Disisi lain, Dhirga membelalak kaget melihat gadis yang berada di atas kasur rumah sakit itu telah membuka matanya, bukan hanya itu, dia terlihat sehat dengan senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Dhirga tak bisa menahan kebahagiaannya, namun sebelum dapat menyentuh gadis itu seketika dunia hitam harus menyelimuti pengelihatan laki-laki itu.
"Dhirga!"
***
"Handa!"
"Okan, oh my god! Gimana keadaan Vanya?" Tanya Handa setelah bangun, bahkan ia sendiri pun tak sadar jika selama beberapa jam ini dirinya pingsan hingga harus dirawat di rumah sakit.
Okan menahan tubuh Handa yang masih lemah akibat terlalu banyak mengeluarkan air matanya. "Vanya baik-baik aja, dia udah sadar, Han." Ucap Okan. Handa tersenyum penuh haru, "gue pengen ketemu Vanya."
"Tunggu sampai badan lo udah sehat, Han. Gue gak mau mati muda gara-gara Bang Nathan" kekeh Okan bercanda. Handa mendengus kesal lalu mencoba untuk turun dari ranjang rumah sakit yang menurutnya tidak ada empuk-empuknya sama sekali. Salah satu alasan kenapa Handa sangat tidak suka di rawat di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive Bad Boy
Teen Fiction"Ini namanya pemaksaan!" "Gue gak peduli, yang penting lo jadi milik gue" "Lo siapa? Berani banget nge klaim gue" "Sekarang gue pacar lo, Devanya Robertson" "Dasar pemaksa!" "I love you too" Pertemuannya dengan senior badboy membuat Vanya tidak tena...