29. Bandara (2)

33.4K 2.6K 677
                                    

"ANJIR BELANDA!"

Ketiga pria yang baru saja turun dari pesawat pribadi itu langsung menyeru semangat. Apalagi Derik yang kesenangan karena baru pertama kalinya ia keluar negri seperti ini, Derik mendecakkan lidahnya terpukau akan kecantikan Bandar Udara Internasional Schipol ini.

Joshua berdehem keras. "Jangan bikin malu gue, nyet."

"Bodo amat." Jawab Derik dan Gilang bersamaan.

Joshua lebih memilih jalan terlebih dahulu dengan pakaian formalnya itu—agar ia mendapatkan layanan terbaik di negara Belanda ini. Identitas yang bergantung di saku jas Joshua menandakan bahwa ialah anak dari pengusaha terkaya di Asia.

Derik dan Gilang menyusul Joshua yang sudah jauh dari mereka berdua yang tidak henti-hentinya berdecak kagum.

"Josh, kok lu biasa aja? Lu belum pernah ke Belanda kan?" tanya Derik.

Joshua menganggukan kepalanya, membenarkan. "Emang. Tapi kalau lo liat bandar udara Jerman—eugh... jatuh cinta deh."

"Hah? Jatuh cinta?"

"Iya, jatuh cinta." Balas Joshua membenarkan.

Kini giliran Gilang yang bertanya. "Petugasnya cakep-cakep ya?"

"Otak lo," cibir Joshua. "Nggak sih, b aja bandara Jerman."

Gilang dan Derik ingin sekali menoyor kepala cowok itu, tapi mereka urungkan karena mereka bedua sadar bahwa mereka tidak terlalu dekat dengan Joshua. Jadi, ia tidak berani melakukan itu.

Tibanya di dalam bandara, Joshua berbalik badan menatap Gilang dan Derik sekilas.

"Kalian ambil barang-barang aja langsung ke parkiran ya. Gue ada urusan bentar, kalau lebih dari sepuluh menit gue nggak kembali masuk aja ke dalem mobil baru suruh sopirnya nganter ke hotel. Supirnya orang Indonesia kok." Jelas Joshua panjang.

Kerutan di kening Gilang mendalam. "Mau kemana lo?"

"Ada urusan bentar. Duluan aja,"

Gilang dan Derik mengangguk, melambaikan tangan sebentar dan melihat tubuh Joshua yang perlahan menghilang. Gilang menoleh ke arah Derik.

"Terus, ambil kopernya dimana njir?" tanya Gilang.

"Lu malah nanya gua. Gua baru pertama kali keluar negri bego." Derik mendelik kesal.

"Yaudah kita keliling—tapi, ini bandara macem mall astaga, besarnya minta ampun." Kata Derik meringis sedikit.

"Berdoa aja kita nggak ilang. Ini masih di dalemnya, apalagi pas keluar, beuh. Lebih luas lagi kayaknya Rik." Balas Gilang terkekeh.

"Tapi pasti ada denahnya kayaknya, kita keliling aja dulu deh, siapa tau ketemu."

"Terus kapan jalannya kita ngobrol terus?"

"Yaudah ayo jalan!"

Perdebatan itu usai ketika Gilang menarik keras lengan Derik, sehingga Derik meringis terkejut. Kedua orang itu seperti kehilangan ibunya saja. Menoleh ke kiri dan ke kanan, ingin bertanya tetapi malu.

Sepanjang perjalanan mereka berdebat soal akan berbelok kemana, memuji perempuan belanda yang cantik, dan segala hal kedua orang itu debatkan. Mata Gilang menangkap sebuah koper berjalan memutari, matanya semakin menyipit bahwa yakin itu adalah kopernya.

"Itu! Itu pengambilan kopernya, ayo."

Derik mengikuti arah tatapan Gilang. "Ayo dah, dari tadi kek, lapar gua."

Makan mulu, batin Gilang mencibir.

Setelah dekat, kedua cowok itu menanti koper dan barang-barang mereka yang lainnya.

Long Distance RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang