Faga dan Indi turun dengan langkah terburu-buru sambil jantung yang berdetak dengan cepat. Bagaimana perasaan kalian jika melihat sahabat kecelakaan di depan mata kepala kita sendiri? Mengejutkan dan sedih, bukan?
Semua orang melihat dua orang yang sedang berlari dengan tatapan aneh dan bingung. Tetapi tidak ada waktu untuk memprotes, yang di utamakan adalah keselamatan Reza dan Tasya.
Setelah sampai di luar dari rumah sakit, Indi mendekati kerumunan orang-orang yang diam hanya menyaksikan. Ada yang memfoto dan ada yang merekam kejadian itu. Apakah mereka tidak berpikir bahwa dua orang itu sedang berada di ambang kematian? Padahal rumah sakit sudah di depan mata, kenapa tidak di bawa ke dalam?
Dasar, human jaman now.
"PERMISI!" teriak Indi agar di beri jalan.
Para manusia yang mengkerumuni korban mempersilahkan Indi untuk mendekati Reza dan juga Tasya yang tergeletak di aspal. Dengan tangan yang bergemetar Faga membuka helm Reza secara pelan-pelan, takut saraf Reza akan terkena. Begitu juga dengan Indi yang sudah menangis melihat wajah Tasya yang berdarah. Kening wanita itu berdarah, hidungnya, dan bibir sobek, lalu pipi yang tergesek.
"TIM MEDIS SEGERA KEMARI!" teriak Indi lagi menyuruh mereka mengangkat Reza dan Tasya pelan-pelan.
Segera tim Medis membawa mereka masuk ke dalam rumah sakit. Perlahan orang yang mengerumuni mengurang. Indi tidak sanggup untuk berdiri ia masih duduk di aspal melihat darah segar mengalir. Faga menghelas napas, ia memegang bahu Indi.
"Sayang," Faga memegang dagu Indi dengan jari telunjuk nya. "kita kuat. Biar aku ikut di dalam ruang operasi kalau kamu nggak kuat. Biar aku aja yang minta izin kalah aku ikut ngejalanin operasi."
Indi melamun, ia mendengarkan Faga, hanya ia tidak terlalu fokus pada perkataan Faga. Faga yang paham memeluk Indi lama lalu menuntuk Indi untuk berdiri dan masuk ke dalam rumah sakit kembali.
- - -
Pusing melanda kepala nya bagaikan badan nya di putar-putar oleh seseorang, indra pendengaran nya juga sayup-sayup mendengar suara tidak terlalu bising di sekitarnya.
Pertama kali membuka mata dengan perlahan ialah melihat sebuah lampu yang melekat indah di atas sana, awalnya menyipitkan mata karena masih mulai menyusuaikan retina matanya untuk menerima cahaya, apalagi sinar lampu cahaya itu sangat terang di tambah juga tembok atas nya berwarna putih.
Tasya yang melihat Reza telah membuka mata nya langsung memegang tangan lelaki itu.
"Za?" tanya Tasya meyakini bahwa Reza telah sadar.
Reza tersenyum tipis walaupun ia tahu senyuman nya itu tidak terlihat. Reza tidak menjawab pertanyaan dari kekasih nya itu karena lidah nya terasa kaku untuk di gerakkan.
"Kak, Reza udah sadar." kata Tasya kepada Faga dan Indi yang sedari tadi menunggu.
Keadaan Tasya tidak separah Reza yang berakibatkan patah nya leher tulang belakang sebab benturan keras kepala Reza yang jatuh ke aspal dengan indahnya membuat leher terpelanting ke belakang.
Kening nya juga sudah di perban dan juga pipi nya yang tergesek telah di berikan alkohol untuk menghindari infeksi, bibir nya yang tipis itu menjadi tebal karena darah banyak keluar dari sana tentu saja. Lalu tangan nya tegelintir akan di urut nanti saja jika ia sudah pulang dari rumah sakit.
Kembali kepada Reza yang masih diam menatap langit-langit ruangan dia berada. Indi dan Faga pun mulaimendekat.
"Za? Gue periksa dulu ya?" tanya Indi, tanpa menunggu jawaban dari Reza, Indi telah mengecek keadaan Reza.
Tidak hanya patah leher tulang belakang, kemungkinan karena benturan keras menyentuh aspal otak Reza juga terkena.
Jika otak nya Reza pun terkena, bisa di pastikan Reza akan lupa sebagian atau semua nya ia tidak ingat. Bisa dinamakan, Amnesia? Atau, lupa ingatan, kan?
Tasya menoleh ke Indi dengan cemas.
"Gimana, kak?" tanya Tasya.
Berusaha bersikap tenang lalu menarik napas dan membuang nya pelan. Terlalu ragu untuk mengatakan nya kepada Tasya.
"Eza--, eh, maksudnya, Reza kemungkinan akan lupa sebagian memori nya. Sebab otak kecil nya... " Indi menggantung perkataan nya.
Tasya mengerutkan dahi dalam. "Sebab? Sebab apa, kak?"
"Eng--gak, aku mau ke receptionist dulu mau ngurus biaya operasi Reza tadi." Kata Indi menghindar.
"T-tapi ka--" Telat.
Wanita berjas Dokter itu tadi telah menutup pintu dengan cepat untuk menghindar.
Faga yang sedari tadi diam kini bersuara.
"Tapi kalau lo bantu untuk mengingatkan memori Reza secara perlahan. Gue yakin, Reza bakal inget walaupun waktu nya cukup lama." Kata Faga jelas.
Menoleh melihat Faga yang baru berucap demikian membuat bahu nya melemas. Ia menggenggam tangan Reza.
"Za?"
"Kamu kenal aku?" tanya Tasya berharap Reza mengenalnya.
Reza melirik dirinya lalu mengangguk sekali walaupun itu sangat pelan. Senang, tentu saja ia senang karena ia dikenali, jika tidak. Apa yang di bilang Faga akan tidak bisa dilakukan jika pacar nya itu tidak mengenalinya sama sekali.
Faga berdehem. "Gue keluar dulu ya. Oh iya, cepet sembuh lo berdua, gue tinggal dulu Sya."
"Oke Kak, makasih ya Kak." Setelah menjawab, Faga langsung keluar tanpa berkata lagi.
Tasya menoleh ke Reza lagi yang menatap nya, Reza seperti patung yang berdiam terus. Menggenggam tangan pacarnya itu lebih kuat karena dari situlah Tasya merasakan bahwa rasa sayangnya telah dibagi oleh Reza.
"Cepat sembuh, Sayang." Kata Tasya meneteskan air mata.
- - -
gimana?
lanjut gak? hehew.baca cerita aku yang baru ya!
1 ) The Girls
2 ) Siapa Aku?ayo berkunjungghh!
comment dongs🗨
btw, vote nya mengurang:( sedih akutu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Distance Relationship
RomanceSequel Infasilran. Semenjak kepindahan Faga yang memilih untuk kuliah di Belanda untuk menggapai cita-cita nya sebagai Dokter mempelajari ilmu lebih dalam lagi. Awalnya Indi sangat setuju dengan pilihan Faga, karena itu adalah bahagia Faga bahagia I...