Tulisanmu diawali seorang tokoh yang terbangun karena alarm. Tokoh itu dirimu, perwakilan dirimu dalam rentetan kalimat.
Berbeda dengan fantasimu, kenyataannya, kau terbangun karena aku menciummu saat kau tertidur ... lalu matamu terbuka dan tubuhmu memelukku hingga napasmu bersatu denganku.
❂
Rumah ini terasa senyap. Orangtuaku tertidur pulas sementara aku bergegas di dini hari, berangkat ke bandara untuk menjemput kakakku.
Aku membencinya, tapi juga merindukannya. Pelukan hangatnya, kecupan bibirnya di pipiku, tingkah menyebalkannya kalau sedang marah, semua tumpah di pikiranku. Menghantui sepanjang perjalananku ke tujuan.
Jujur, aku tak berharap banyak. Melihat senyum dari wajah familiernya saja sudah lebih dari cukup. Tiga tahun kuliah di Malaysia pasti sudah mengubahnya. Cara bicaranya, suaranya, bahkan caranya berpikir tak mungkin lagi persis dulu. Sekarang, itu terbukti ...
"Kian ..." Alih-alih sapaan cempreng bersemangat miliknya, yang kudapat hanya suara berat dan dingin. Ia melangkah ke tempatku berdiri, berjibaku dengan koper yang ditariknya. Aku diam, menatapnya. Mengikutinya geraknya hingga ia sepenuhnya di hadapanku, "Kau ..."
"Jadi lebih tinggi, lebih dewasa. Bukankah itu yang ingin kau katakan?"
Farin tersenyum, "Aku baru mau bilang kau tak banyak berubah. Masih tampan seperti dulu. Selalu buatku iri."
Senyumku mengembang. Meskipun kenyataannya penampilanku lebih unggul, otakku tidak akan pernah menyamai otaknya. Dibandingkan dirinya aku seringkali merasa bodoh. Mungkin akan terus begitu. "Ayo pulang ..."
❂
Aroma parfumnya tercium jelas. Aku di kursi kemudi dan dia di sampingku. Jika saja ini empat tahun lalu, kami akan banyak bicara dan tertawa menangisi kekonyolan satu sama lain. Ia akan memeluk tubuhku, mencium dan mencubit gemas pipiku tanpa ragu. Sayangnya, yang ada saat ini hanya senyap yang canggung.
"Kian ..." Farin angkat bicara, wajahnya yang disinari mentari pagi itu menoleh. "Kau masih dengan Ares?"
Aku tersenyum lemah. Mengingat hariku bertemu dengannya, mengingat bagaimana kami bercengkrama, mengingat alasan kami berpisah. Semuanya menjadi komposit singkat yang mengitari benakku. "Kami putus dua tahun lalu, sejak itu aku tak pernah berpacaran dengan siapapun lagi."
"Oh ..." Napasnya terdengar berat. Seiring beratnya atmosfer yang tercipta. Dia dan aku sama-sama tahu kenapa semuanya bisa seperti ini. Dia tahu, siapa yang patut disalahkan. Kakakku mengetahui semuanya.
Meski begitu, sekarang ia memilih untuk memasang pertahanan. Memberi wajah datarnya padaku. Bertingkah seolah semua terjadi begitu saja dan bukan karena dirinya.
Jemariku memutar radio di dashboard. Memberi kami waktu istirahat. Setidaknya, dengan begini, kami tak perlu memikirkan kalimat basa-basi untuk diucapkan.
❂
Sesampainya di rumah, kedua orangtuaku memeluknya. Ayah terlihat begitu bangga pada kakak dan ibu begitu senang menerima oleh-oleh darinya. Mereka tak sedikitpun melirik padaku. Seolah aku tak berada di ruangan yang sama. Bahkan, hingga aku pergi ke kamarku pun, mereka masih saja tidak sadar akan keberadaanku. Keduanya terfokus pada malaikat yang mereka kelilingi sekarang. Kakakku, Farin.
"Kian, malam ini kakakmu tidur di sini dulu. Ibu belum bereskan kamarnya. Kamu tidur di sofa saja. Besok tolong bantu ibu membereskan kamar kakakmu. Tukang angkut barang baru datang besok sore. Kamar kos yang akan ibu jadikan gudang juga baru serah terima kunci dengan ibu nanti malam. Kamu bantu ibu, ya ..." Penjelasan mendetil ibuku hanya kujawab dengan anggukan kepala dan senyum tipis.
Tanpa babibu, ibu menghilang, bergegas berangkat kerja dengan ayah meski mereka terlambat dua jam karena menunggu Farin. Aku? Aku hanya akan kembali ke warnet di sebelah rumah seperti hari-hari biasanya. Menjadi orang tak berguna yang tak dibanggakan orang tua. Kakakku? Dia sudah dapat tawaran bekerja. Tepat pukul 10 nanti ia pergi untuk wawancara kerja.
Aku iri setengah mati. Beberapa jam saja berada di sini, dewi fortuna sudah memberinya keberuntungan. Sementara aku, untuk mendapat kerja kantoran pun mustahil karena aku hanya lulusan SMA. Seolah, hal sepele yang menjadi pekerjaanku sekarang ini adalah hal terbaik yang bisa dilakukan orang sepertiku. Aku memang tak sebanding dengan Farin.
"Kalau mau mudah kerja, cari saja banyak kolega. Banyak bergaul... kau akan mudah menemukan pekerjaan kalau banyak relasi." Pesan Farin lewat panggilan video enam bulan lalu. Aku memang terpuruk.
"Kian ..." Kali ini adalah kali kesekian ia memanggil namaku. Suaranya yang tadi terdengar begitu bahagia di lantai bawah, kini mengasihaniku. Membuatku makin kecil di hadapannya, "Aku sudah coba mencarikanmu pekerjaan lain. Warnet itu biar orang lain saja yang jaga. Kau lebih baik dari ini ..."
Helaan napasku makin menjadi. Bukannya pergi, Farin malah duduk di dekatku. Ikut memberati kasur dengan tubuhnya. Disimpan lah tangannya di pundakku, berlagak perduli.
"Aku tidak tahu bisa dapat pekerjaan apa. Umurku sudah 21 tahun, pendidikanku rendah. Paling bagus juga jadi kasir atau pekerja kasar dan sales. Tak usah repot-repot."
Kini jemarinya mengusapi pundakku, "Kian, kau tidak kuliah karena ayah dan ibu tidak punya uang, bukan karena kau bodoh. Kau bisa lebih baik dari ini, aku percaya padamu."
Senyum sakitku tak sengaja mencuat di wajah, "Kalaupun aku kuliah dan punya pekerjaan yang baik. Tidak akan mengubah pandangan ayah dan ibu tentangku. Aku gay, kau tidak dilihat sepertiku. Sampai kapanpun aibku akan terus terngiang sementara kau hidup dengan sempurnanya."
Ia terdiam. Jemarinya berhenti bergerak. Ia membuang wajahnya pelan-pelan, tak ingin melanjutkan perbincangan.
"Kau merasa bersalah?" tusukku, tajam. Tersenyum sinis padanya, membuatnya tertunduk malu, "Kalau dulu kita tidak terlalu dekat, aku tidak akan seperti ini. Kalau kau tidak membuangku karena Cheska, aku tidak mungkin mencari perhatian dari Ares. Aku tidak mungkin jadi begini sekarang. Semuanya karenamu."
Farin terus tertunduk, menelan ludah, mengepalkan tangan sementara aku hendak berjalan ke luar, tak peduli lagi dengan apa yang dirasakannya.
Hari ini aku hanya ingin hidup tenang seperti hari-hariku tanpanya. Bergelimang waktu, miskin harta. Menikmati layar monitor yang menjanjikan banyak hal namun tak mewujudkan apapun. Hidup di dunia maya demi kehampaan yang sia-sia. Aku ingin tenang ...
"Kian!" Aku baru beranjak selangkah dari dudukku, ia menarik tanganku. Membuatku terduduk lagi di tempat semula, "Aku ingin kita kembali seperti dulu."
"Apa maksudmu?" sergahku.
"Seperti dulu. Seperti sebelum kedatangan Cheska yang menghancurkanmu. Jauh sebelum kau mengenal Ares dan menyalahkanku seperti sekarang ..."
Aku tak bisa menjawabnya.
"Kembalilah jadi adikku yang dulu ..."
❂
You can click the vote star
You can write me lot of comments
You can share this novel to your friends and pal
Feel free to do so...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Cliches (BL Novel)
RomanceTidak ada seorangpun yang sempurna di muka bumi ini. Semua klise itu tak nyata. Mereka tak ada di sana saat aku membutuhkannya. Klise itu, bisakah aku mewujudkannya? A wattpad boys love roman (novel) fully created by Kanata Gray. Novel Debut : 08...