Act 32. Please, Look At Me!

1.4K 148 52
                                    


Previous Act :

Ayahku mengambil alih layar. "Kamu temannya Kian? Tolong pulangkan Kian secepatnya. Kalau memang tidak bisa sekarang, pergilah besok pagi. Kamu juga tolong ke rumah. Kita harus bicara." Suara berat ayahku terkesan tenang, berbeda dengan ibuku yang terdengar begitu panik dan kalut. Meski begitu, tak meruntuhkan kenyataan kalau aku sedang dalam masalah.

"Baik, pak. Saya akan menghadap secepatnya." April nyaris tumbang di akhir kalimatnya. Ia melirikku, merasa bersalah padaku.

"Kami tunggu." balas ayahku. Panggilan pun diakhiri.

Begitu April duduk di sebelahku aku sudah menutup wajahku dengan tangan. Sudah nyaris berair mata. Dadaku berat dan sesak. Aku kesal dengan semua yang terjadi.

"Kian, saya minta maaf." Ia mendaratkan tangannya di pundakku. Merangkulku dengan satu tangannya, sementara tangan lainnya berusaha mendarat di lututku. "Karena saya, jadi seperti ini."

"Keluarlah." Datarku. Dingin dan menghunjam. April keluar dari kamar, menutup pintunya dari luar. Begitu pintu tertutup, aku membenamkan wajahku di bantal dan berteriak sekencang-kencangnya.

☽❁☾

Belaian di rambutku mengusik tidurku. Meski pelan, lembut, tetap saja aku terganggu dan terbangun. Begitu kedua mataku terbuka, wajah April berada di seberang wajahku, jemarinya tak berhenti menyisiri rambutku. "Pagi, Kian." Suaranya tak serak atau apapun. Rambutnya juga terlihat basah.

"Ini jam berapa?" Aku menggeliat, menepis tangan April dari ubun-ubun kepalaku. Meraih ponsel di nakas. "Masih jam 5 pagi. Kamu baru beres shalat, ya? Kenapa tidak membangunkan saya dari tadi, sih?"

April mendudukkan dirinya, menatapi wajahku dengan rikuh. "Saya mau bangunkan kamu, tapi tidak enak. Kamu tidurnya pulas sekali."

"Bukannya begitu. Bus pertama datangnya jam 6 pagi. Kalau kamu bangunkan saya dari jam 4, saya 'kan bisa beres-beres tas!" Protesku.

"Oh, itu. Sudah, kok. Sudah saya bantu bereskan." Entengnya. Aku otomatis celingak-celinguk mencari letak tasku dan tasnya yang sudah pindah tempat. Seingatku, tas kami berada di lantai dekat nakas ini, kemarin. "Tas kamu saya simpan di ruang tamu."

Dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya dan langkah kaki yang masih lemas, aku menyambangi ruang tamu. Benar saja, tasku sudah rapi. Sepatuku juga disikatnya dengan sikat kering. Noda debu dan pasir yang kemarin menghiasi sepatuku sudah lenyap tak bersisa. Tapi... "Kerang-kerangnya mana? Saya belum sempat tumbuk itu, lho. Kemarin 'kan banyak sekali!" Aku masih celingak-celinguk mencari keberadaan kulit kerang yang kami kumpulkan kemarin.

"Coba buka tasmu, di dalamnya ada botol plastik. Sudah saya tumbuk semalaman dan saya tampung di situ." Sekarang ia sudah berada di ambang pintu, bersandar dan menantiku memastikan perkataannya.

Sesuai titahnya, tas milikku kubuka lebar-lebar. Sebuah botol bekas air kemasan sudah terisi setengahnya oleh bubuk kerang. Melihat ini, mulutku sampai menganga. Tak bisa mengatakan apapun karena terkesan dengan jasanya untukku. "K-kamu."

"Iya, soalnya semalam kamu marah-marah terus. Setelah kamu tidur di kamar, saya sampai jam 12 malam di sini. Menumbuk kerangnya satu-satu. Setelah lelah, saya tidur di sofa." Ia tersenyum manis, meski aku tahu kalau tidurnya pasti tidak nyaman karena yang kutahu, sofa rotan di dekatku sekarang ini kerasnya minta ampun. Tidak ada bantal atau apapun di sini. April pasti pegal sekali. Aku berhutang banyak padanya. "Satu lagi. Saya buat sesuatu semalam."

"Buat apa?" Aku mengikuti April yang melangkah kembali ke dalam kamar.

Ia lalu berdiri di depan cermin retak meja rias, membuka kotak makan plastik yang disiapkannya. Begitu dibuka, aroma manis dari bola-bola oreo yang dibuatnya semalam itu tercium jelas. Merasa belum lengkap, ia menancapkan lilin kecil di atasnya. Menyalakannya dengan pemantik. "Nah, tolong nyanyikan lagu ulang tahun!" Pintanya, sambil tersenyum manis.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang