Previous Act :
"Kalau saya jujur kamu tidak akan marah, 'kan?"
"Marah buat apa juga. Kamu sudah sering begini. Lagipula rahasia kamu paling seputar keluarga kamu. Kalau boleh jujur, saya tidak begitu care juga."
Ia terlihat serius. "Ini bukan tentang saya atau keluarga saya. Saya tidak bisa meninggalkan kamu karena kamu."
"Memangnya ada apa?" tanyaku lagi agar ia cepat bicara. "Ada apa lagi, sih. Jangan berbelit-belit, deh. Saya tidak suka kalau kamu begini. Kita ini laki-laki. Tidak perlu banyak memendam rahasia ini-itu seperti perempuan. Banci saja bicaranya blak-blakan. Masa kita kalah?!"
"Huh..." April menghela napas panjang. "Jadi begini ..."
☽❁☾
"Ares ada di Bandung ..."
Aku memberinya jeda, membuat isyarat tangan dan ekspresi wajah "So, what?" milikku untuknya.
"Dua hari lalu, waktu saya bilang saya ke minimarket untuk beli sambal. Saya bohong. Saya sebenarnya mengobrol dengan dia di ruang tamu rumah depan. Waktu saya bilang saya ketinggalan dompet, saya juga bohong. Saya sebenarnya kembali ke kamar untuk ambil ponsel dia dan mengembalikannya ke dia. Dia sempat bilang, dia tahu alamat kosan ini dari orang tua kamu."
"Okay, katakanlah Ares memang mencari saya dan ingin bertemu. Lalu apa hubungannya dengan pemakaman ayah kamu? Ini dua hal berbeda yang kamu kait-kaitkan. Tentang Ares itu urusan saya, tentang ayah kamu ya tanggung jawab kamu. Saya tidak lihat ada korelasi antara dua hal itu."
Ia setengah menyalak. "Ares urusan kamu?! Ares itu urusan kita, Kian! Saya tahu kamu itu seperti apa. Kamu itu susah sekali move on, kamu mudah terjebak nostalgia. Waktu kamu lihat wajah Ares di laptop-nya Faris saja kamu kelihatannya begitu. Mana mungkin saya bisa meninggalkan kamu sendiri sementara dia akan datang lagi ke sini."
"Tapi ini tidak ada urusannya dengan pemakaman ayah kamu, Saprol! Kamu tetap harus ke sana. Memangnya kamu mau dicap anak durhaka bagi orang tua kamu? Ini meninggal, lho. Betulan meninggal. Sudah cukup kamu mengabaikan dia waktu dia sakit."
"Kamu tidak akan mengerti, Kian." Ia pun duduk di lantai, membuat wajah kesalnya jadi nyata. Memunggungiku yang duduk di atas kasur. Tak lagi menggunung di hadapanku.
"Kalau ada sesuatu yang buat kamu enggan datang kamu bisa bilang, lho. Saya ini pacar kamu. Waktu di Jogja kamu sudah janji tidak akan menyembunyikan ini-itu." lunakku padanya. "Uhm, tapi melihat kamu begini, saya pikir saya mengerti kenapa. Kamu sedang menghindari keluarga kamu, 'kan? Kamu tidak mau ke pemakaman ayah kamu karena mereka? Bukankah begitu? Kamu bersikeras enggan pergi karena sedang menghindar."
Ia tidak menjawabnya sama sekali.
"April! Woy!"
Masih sama seperti tadi. Diam, mengabaikanku.
Aku pun turun dari kasur, menuju dirinya dan mendarat di hadapannya. Memandangi wajahnya yang sekarang begitu sendu dan tertekan. "Kalau ada yang ingin diutarakan, katakan saja. Saya tidak akan menghakimi kamu. Tolong bicara selepas mungkin. Saya tidak mau kita bertengkar hanya karena kamu susah menyatakan isi pikiran kamu."
April mengangguk, menelan ludah sebelum akhirnya buka suara. "Kamu benar, Kian. Saya sedang menghindar. Saya malu. Dari semua cucu kakek saya, saya yang paling sial. Keluarga sepupu termuda saya sudah hebat, mereka punya rumah, anak mereka kuliah di Australia, lalu ada keluarga kakak sepupu saya yang memang tidak menguliahkan anak mereka, tapi mereka sukses menjadi pengusaha dan omzetnya jutaan tiap bulan. Saya ini apa, sih? Datang ke sana pun hanya akan jadi bahan pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Cliches (BL Novel)
Roman d'amourTidak ada seorangpun yang sempurna di muka bumi ini. Semua klise itu tak nyata. Mereka tak ada di sana saat aku membutuhkannya. Klise itu, bisakah aku mewujudkannya? A wattpad boys love roman (novel) fully created by Kanata Gray. Novel Debut : 08...