Act 23. April's

2.1K 223 82
                                    

Previous Act : 

"Kian!" Farin membangunkanku dari lamunanku.

"Kenapa?"

"Sini." ia menarik wajahku ke dekatnya. Memburu bibirku begitu kami berdekatan. Aroma napasnya yang khas tercium jelas. Nikmat mengambang hingga indera penciumanku. Lidahnya sudah tentu menyusup untuk bertemu lidahku. Tak perlu susah payah baginya untuk membuatku nyaman. Lenguhannya yang jantan saja sudah cukup membuatku terbius.

Tak lama, ia melerai ciuman kami. Farin pun berbisik. "Kian, aku ingin disentuh. Kita pindah ke kursi belakang, ya."

Tanpa kau minta pun aku sudah berniat pindah agar nyaman.

Dan benar. laki-laki itu memang penuh nafsu. Haikal tidak salah. Aku yang egois dan enggan mengakui.

☽❁☾    

Pukul 11 malam. Farin meminum obatnya tepat beberapa menit setelah ciuman terakhir kami. Ia begitu ingin tinggal lebih lama denganku, sialnya ia harus segera pergi untuk mengembalikan mobil. "Aku khawatir kalau kau langsung berkendara setelah minum obat begini. Memangnya kau kuat?"

Farin mengangguk, mantap. "Sudah tidak sakit lagi. Aku sudah terbiasa dengan obat ini, jadi jangan khawatir." Ia mengelus rambutku, menunjuk jalan menuju rumahku dengan kepalanya. Bermaksud meninggalkanku di perempatan sebelum jalan itu. "Kau kuturunkan di sini, ya ..."

"Baiklah, terimakasih sudah datang." Aku menggenggam tangannya yang berada di atas tuas persneling. 

"Maaf aku kesannya terlalu menggurui, aku hanya ingin kau lebih dewasa saja, Kian." Ia menatapku, kembali dengan senyumnya yang manis. "Aku akan rindu bibirmu setelah pulang nanti."

"Apa, sih! Jijik mendengarnya." Aku mendorong pipinya dengan telunjuk, main-main. Beberapa saat kemudian aku berpisah dengannya. Aku berjalan kaki menuju rumah, sementara ia berkendara menuju rumahnya Pak Dion untuk mengembalikan mobil, lalu berangkat lagi dengan ojek online  untuk mencapai rumah kos. Pengorbanan kakakku itu, benar-benar...

☽❁☾      

Seperti titah kakakku, aku terus mencoba menghubungi Haikal. Aku menelepon, mengiriminya pesan, tapi terlambat karena setelah beberapa kali mencoba, nomorku diblokir olehnya. Mungkin perkataan kakakku ada benarnya. Aku menyakiti Haikal dengan begitu keterlaluan. Pikiran seperti ini bahkan tidak hilang meski tubuhku sudah berada di warnet, sekarang. 

"Tidak kemana-mana, bos? Ini Minggu, lho." Suara bang Kijun yang merokok di teras melayang ke telingaku yang sedang anteng di dalam bilik kasir. "Dari kemarin mukanya asam terus. Tersedak biji salak ya, bos? Atau bijinya para lelaki?"

"Heh, bicara apa sih, bang! Berisik!" 

Bang Kijun mematikan rokok, membuang puntungnya ke tanah lalu berjalan ke dalam. Tepatnya ke hadapanku untuk sekedar bicara. "Kalau ada masalah itu cerita, bos. Jangan dipendam sendiri. Meledak, lho." 

"Kau pikir aku ini gas melon?!" 

"Lah, bos diberitahu susah. Ya sudahlah, terserah. Situ mau bagaimana, Kijuna tidak mau tahu." Laki-laki dengan gigi ompong itu berjalan ke lantai atas sementara aku mendengus sendiri, terganggu kata-katanya barusan. Susah kalau punya wajah yang ekspresif, hal sekecil apapun sulit disembunyikan

Aku menelepon Faris sekitar pukul 11 siang. Faris terdengar seperti orang yang baru bangun dari tidurnya. Suaranya terdengar malas dan bicaranya sedikit tidak jelas. Anak itu baru mabuk-mabukan semalam. Suara pacarnya yang ikut terbangun juga masuk ke speaker ponselku, bersatu dengan suara napas Faris yang terdengar setiap kali ia mengakhiri kalimatnya. 

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang