Act 27. Losing You

1.8K 186 125
                                    

Previous Act :

"Ini, ibu saya menyuruh saya membelikan kamu makan siang. Jadi saya beli dua kotak hari ini. Kalau anak stand kita tanya, bilang saja kamu beli sendiri, ya!" cuekku. "Makanannya saya simpan di bawah mejanya kak Fiza."

Aku hendak berjalan meninggalkannya, agar aku bisa kembali beristirahat. Clarissa mengejarku, berjalan cepat ke arahku. "Kian ..."

Aku berbalik. "Uhm?"

Clarissa memberiku senyumannya yang paling tulus. "Terimakasih."

"Sama-sama." Dinginku. Huh ... kalau saja aku ibu tidak menyuruhku begini. Tidak nyaman sekali.

"Kian." Clarissa memanggilku lagi.

"Apa lagi?" Aku berbalik dengan wajah kesal. Berjalan cepat ke hadapannya.

"Tidak apa-apa. Hanya saja kamu tampan sekali hari ini. Saya suka." Senyumnya.

Yikes, sepertinya aku ingin muntah. 

☽❁☾

Satu minggu yang melelahkan itupun akhirnya berlalu ...

Hari demi hari kami lewati dengan susah payah. Terkadang semangat, terkadang tidak. Ada saat-saat di mana kami begitu sensitif bahkan bertengkar karena hal kecil. Ada juga saat di mana kami saling mengerti dan bahu-membahu menolong satu sama lain. Ada saat-saat di mana kami tertawa terbahak dan ada saat-saat di mana kami nyaris menangis karena lelah dan jenuh. Ah iya, satu lagi ... ada juga moment di mana kami harus berurusan dengan pelanggan yang super risi dan menyebalkan. Itu tidak mungkin kami lupakan.

Dengan selesainya hari ini, selesai juga kerjasama kami dengan Clarissa. SPG dari penyedia jasa yang juga anak dari dosen tempatku membeli bangku sekaligus calon teman kuliahku nanti. Seharusnya perempuan di depanku ini sudah pulang satu jam lalu. Sekarang sudah nyaris pukul setengah sebelas malam dan ia masih di sini, membantu kami mengangkut barang-barang ke mobil pak Dion. Untuk terakhir kalinya. Fyuh ...

"Akhirnya, selesai juga!" Hafids bersorak-sorai sambil membentangkan kedua tangannya di udara. Menghembuskan napas lega bersamaan dengan Giandra dan Fiza. Saling tersenyum satu sama lain.

"Terimakasih ya sudah bantu-bantu. Padahal kamu tidak wajib begini, lho." Fiza memberi sunggingan manis bibirnya pada Clarissa yang membalas senyumannya, rikuh.

"Sudah waktunya pulang. Ayo, Kian!" Semangatnya. Clarissa menggamit tanganku, membuat Hafids iri dan memutar mata main-main ke arahku.

Sekarang aku berada di jalan menuju rumah Clarissa. Ini kali ke-7 dan kuharap kali terakhirnya aku mengantarnya pulang. Jangan sampai setelah kuliah nanti, ini berlanjut dan aku diangkat jadi ojek pribadinya Clarissa. Hiiy, ogah! Clarissa masih sama seperti biasanya, jarang bicara kalau sedang di motor. Dia hanya akan bicara ini-itu kalau energinya masih penuh atau sedang sedih dan kesal. Kalau di saat-saat seperti sekarang? Dia diam. Tapi, baru setengah jalan menuju rumahnya, Clarissa tiba-tiba mencubit perutku.

"OUCH! Apa-apaan sih, Clar!" Aku membentaknya sebisaku, sialnya setengah suaraku tertelan angin dan hanya sampai seperempat saja ke telinga Clarissa yang mengenakan helmet. "Sakit, somplak!"

Clarissa tidak menjawab. Bahkan sampai akhir perjalanan pun ia tidak bicara apapun. Saat kedua high heels yang dipakainya menyentuh tanah, barulah ia kembali cerewet seperti biasanya. "Dasar lelaki, kamu ini tidak peka! Tolol!" Clarissa berjalan dengan menghentak-hentakkan kaki menuju pagar rumahnya. Aku? Hanya diam dengan dahi mengernyit. Tidak mengerti dengan apa yang ia lakukan.

"Memangnya ada apa, sih?!" Aku sengaja turun dari motorku, melepas helmet dan menghadapinya, gemas. "Kalau ada apa-apa itu bicara. Punya mulut, 'kan? Sudah tidak jaman main kode seperti ini. Cepat bicara!"

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang