Act 46. Cold Truth & Snapshots

1.3K 139 68
                                    

Previous Act :

Ia memotong kalimatku, tak perduli. "Elah, persetan dengan sekitar!" Ia menempelkan tubuhnya dan tubuhku, bibirnya menghambur ke bibirku, membuatku mati batu dan terpaku saking shock­ akan perbuatannya. Aku pun tak bisa lepas dari kekangan dua tangannya yang memelukku.

Jantungku berdebar kencang, aku bisa merasakan jika tatapan orang-orang sepenuhnya menuju kami. Grup tour pelajar SMA yang tak jauh dari keberadaan kami langsung berteriak, menyindir kami dengan ucapan mereka yang tak pantas. Aarrrgh ... malu!

Begitu April mengakhiri ciumannya, aku masih tak bisa bergerak. Tubuhku mendadak lemas dan lututku tak kuasa menahan beban tubuhku. Aku rasanya seperti akan jatuh ke tanah saking shock-nya.

Lalu, ia memegang tanganku, tersenyum lepas dan berkata. "Sekarang waktunya kita lari dari sini. Ayo!" Ia pun menarik tanganku tanpa malu. Tersenyum puas sambil membawaku menerobos kumpulan anak-anak SMA tadi. Menghilangkan jejak diri kami sebelum nantinya kami diarak, dibakar massa dan jadi sensasi viral.

Pacarku ini benar-benar gila! HWAAAA!

☽❁☾

Bahkan, saat tiba di kamar pun hatiku masih berdebaran. April tak henti-hentinya tersenyum lepas, selalu nyaris tertawa saking puasnya sementara aku menekan perasaanku dalam-dalam agar tak dilihatnya. Sekarang, ia memelukku dalam-dalam, menciumi pipiku dengan gemas. Begitu bangga dengan yang sudah dilakukannya. "Tadi itu menyenangkan, ya?"

PLAK! Ubun-ubun kepalanya kugeplak. Bertingkah seolah tak menyukai apa yang dilakukannya, meski jujur ... aku merasa tadi itu romantis sekali.Tapi tetap saja tadi itu gila ... Aku harus rasional. Harus rasional. "Kalau sampai ada yang mengenali kita dan buat perkara gara-gara hal tadi. Saya menyalahkan kamu." Pelukannya kulerai cepat-cepat.

"Kalau tidak suka ya, maaf. Tadi itu memang salah, tapi yang saya lakukan itu jujur dari hati saya. Memang sebanyak itu saya cinta sama kamu." celetuknya dengan pipi memerah dan gesture malu-malu. Dua matanya bahkan gelagapan, berusaha untuk menatapku tapi selalu gagal dan berakhir menekuri lantai.

"Oh, begitu. Terimakasih, ya." Aku berpura dingin, sengaja beranjak menuju kasur untuk melemparkan tubuhku ke atasnya. Ia sudah tentu mengikutiku, bicara dari belakang punggungku yang membelakanginya, membujukku agar mencair padanya.

Padahal aku memang tidak marah atau apapun. Aku hanya sedang mengusiknya. Lagipula, pasangan homo mana yang tidak mau mencoba hal gila seperti tadi. Bukankah memamerkan kemesraan adalah salah satu dosa terindah yang ingin diwujudkan setiap pasangan, bahkan pasangan heteroseksual sekalipun? Bukankah itu alasan kenapa banyak muda-mudi yang flirting berlebihan di tempat umum? Bukankah menunjukkan cinta di khalayak ramai itu menyenangkan?

"Kian, maaf. Tadi itu saya memang tidak bisa menahan diri. Saya pikir kamu tidak akan marah begini." Ia terdengar lesu, tangannya memelukku dari belakang, memintaku menghadapnya. Suaranya terdengar khawatir karena pikirnya aku benar-benar marah. "Kian, setidaknya hadap ke sini. Kita bicarakan dulu, sebentar. Saya tidak mau mood kamu buruk terus sampai Haikal dan Faris datang. Setidaknya, bicaralah."

"..." Aku yang nyaris tertawa, spontan menahan napasku kuat-kuat supaya tubuhku tidak bereaksi karena kalimatnya yang naif.

"Kian ..." Ia memanggilku untuk yang terakhir kali sebelum akhirnya melenguh jemu dan menyerah. "Ya sudah."

TV dinyalakan, ia mengatur posisi tubuhnya supaya nyaman. Saat aku menoleh, ia sedang melipat tangan dengan wajah kusut. Aku pun tertawa ... menghancurkan pertahananku yang sengaja membuat emosinya jadi mainan. "Hahaha ... sampai sedih begitu. Saya tidak marah, kok. Saya hanya ingin lihat reaksi kamu. Hahaha ..." Senyumku.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang