Act 36. The Unforgotten

1.3K 156 76
                                    

Previous Act :

"Saya janji akan membuat kamu merasa diinginkan." Ia memelukku lagi. "Tapi jangan minta seks, ya. Saya belum siap."

"Iya, saya mengerti." Senyumku. "Saya tidak akan memaksa."

"Maaf saya terlalu keras pada kamu." pelukannya makin erat dan hangat. Aroma tubuhnya tercium manis di hidungku. "Maaf kalau saya membuat kamu merasa tidak diinginkan. Itu bukan kesan yang ingin saya berikan pada kamu. Hanya saja saya belum pernah bicara sejujur ini pada kamu."

"Tidak apa-apa." kataku. "Saya juga minta maaf pada kamu. Jauh di dalam hati saya, saya tahu maksud kamu baik. Hanya sayanya saja yang memang gampangan kalau soal seks."

April terkekeh. "Iya, terasa, kok. Punya kamu tegang."

"Maaf. Tidak bisa dikontrol." tukasku, malu-malu sambil menarik mundur tubuh bawahku.

"Tidak apa-apa. Saya bisa suruh kamu kocok sendiri. Hahaha ..."

"Dasar!" Aku mencubit punggungnya, main-main.

"Kian." Ia melerai pelukan kami, menempelkan dahinya di dahiku.

"Uhm?"

"Saya suka sekali sama kamu." bibirnya menyesapi bibirku lebih dalam dari sebelumnya. Lalu hatiku terikat sepenuhnya, pada April.

☽❁☾

Sekarang aku bisa tersenyum lebar. Usahaku selama dua minggu kemarin membuahkan hasil. Ini tak lepas dari sakit hatiku pada Farin. Setelah tahu Farin dengan Gio, aku hancur. Dan hancurku itu yang membuatku bergerak. Memacu mesin dalam diriku untuk menuntut kejelasan pada April. Membuatku bicara gamblang pada April tentang apa yang kurasakan tentang hubunganku dengannya.

"Sahabatan macam apa, sih? Kita ini sama sekali bukan sahabatan. Sahabat itu tidak menyimpan rasa suka pada sahabatnya. Kamu jelas-jelas suka saya dan saya sudah jelas ada rasa pada kamu. Kenapa sih kita ini tidak dianggap pacaran saja sekalian? Sudah berbulan-bulan lho kita begini." Protesku pada April waktu itu, dua hari setelah bertemu Farin.

April hanya diam, membuatku mendengarkan suara tarikan napas panjangnya di speaker. "Jadi kamu maunya bagaimana?"

"Saya mau kamu mengakui kalau kita ini pacaran. Tahi kucing dengan keinginan kamu untuk sahabatan. Saya tidak mau dibatasi seperti itu. Kalau mau pacaran, pacaran sekalian. Jangan setengah-setengah. Bisa-bisanya kamu sembunyi di balik kata sahabat." Cerocosku, lagi-lagi April menarik napas panjang.

"Kian, tadinya saya minta kita seperti ini karena saya takut hubungan kita jadi cepat berakhir kalau langsung pacaran. Kalau sahabat, sampai mati pun bisa bertahan. Kalau pacaran? Memangnya ada yang bisa pacaran sampai tua? Lagipula kita ini laki-laki. Kita akan terpisah oleh kewajiban kita untuk menikah. Kalau kita pacaran, lalu putus ... hubungan kita jadi sia-sia. Mau berteman pun jadi segan." paparnya, bicara baik-baik agar aku mengerti. "Lagipula dengan seperti sekarang saja kita sebenarnya sudah terhitung pacaran. Kamu tidak merasa seperti itu?" 

"Kamu suka saya, 'kan? Benar-benar suka, 'kan?" tanyaku, mendesak. Tiba-tiba.

"Iya. Saya suka kamu. Suka sekali. Kalau tidak suka mana mungkin saya rajin chat dan telepon kamu."

Menyela kalimatnya. "Nah, kalau benar-benar suka ya sudah. Turuti permintaan saya." tukasku, mengancam. "Kalau tidak ya sudah. Tidak usah berhubungan lagi."

"Haduh, Kian." aku bisa membayangkan April sedang menekuri lantai sambil menumpu dahinya dengan tangan. Ia kewalahan menghadapiku yang sudah begitu cerewet tentang ini. "Ya sudah, iya saya akui. Kamu pacar saya. Sudah puas?"

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang