Act 7. Can't Have You

3.4K 415 72
                                    

Previous Act : 

Hingga langkahku yang tiba di kamar, tak seorangpun datang untuk menanyaiku. Tidak seorangpun perduli dengan perasaanku. Tidak ada seorangpun mengerti mengapa aku meninggalkan meja makan. Padahal aku sudah memberi mereka pertanda.

Sudah sejak lama aku diperlakukan seperti ini, bahkan jauh sebelum Farin datang pun semuanya sudah seperti ini. Aku sudah sangat sabar. Sudah terlalu sabar selama beberapa tahun ini.

Sekarang, Farin bersinar begitu terang karena aku begitu gelap dan makin suram setiap harinya. Begitupun dirinya, ia terlihat makin indah karena aku yang memburuk. Terlihat sempurna karena aku yang cacat.

Kecamku, bintang takkan bersinar tanpa langit gelap. Maka ...

Ibu, ayah, Farin ... Bersiaplah kehilanganku. 

☽❁☾     

Pakaianku sudah kumasukkan. Hanya beberapa, yang penting saja. Termasuk benda-benda lainnya yang kubutuhkan. Mereka memenuhi tasku, membuat tas punggungku penuh sesak ala pendaki gunung. Begitu kutarik risletingku dan kuselesaikan packing-ku ... Aku merasa konyol.

Aku malu pada diriku sendiri karena sudah begitu dramatis, tadi. Pikirku, aku akan dengan mudah bertahan di luar sana tanpa bantuan keluargaku. Kenyataannya, bahkan pekerjaanku di kafe saja tak lepas dari bantuan Farin. Hidupku juga masih disokong oleh keluargaku. 

Apa-apaan sebenarnya aku ini? Kekanakan sekali ...  

Yang terjadi selanjutnya hanya diriku yang duduk di atas kasurku sambil menatapi tasku yang tergeletak di lantai. 

☽❁☾   

Malam lalu terpaksa kuhabiskan dengan merapikan pakaianku kembali ke lemari. Setidaknya, meski melelahkan sekalipun aku tidak kepalang malu karena berbuat nekat nan tolol. Setidaknya aku masih bisa memasang tampang tanpa dosa pagi ini, menghadapi Farin dan kedua orang tuaku dengan wajah biasaku pada mereka. 

Setelah mencuci piring bekas sarapan, mencuci baju, menjemur pakaian, aku pergi ke warnet pukul 9 tepat. Sengaja molor satu jam karena keasyikan melamun di kamar. Apalagi kalau bukan melamunkan kehidupan yang tak nyata. Berandai-andai sambil mendengarkan lagu kesukaan dan memandangi langit-langit dengan tatapan kosong. 

Begitu tiba di warnet, bang Kijun memberiku tampang kecut, "Elah, si bos terlambat. Biasanya tepat waktu." Ia kembali menghisap rokoknya.

"Iya, sebentar ..." balasku sambil memutar kunci. Begitu pintu dibuka bang Kijun langsung menyelonong ke lantai dua. Tidak tahan lama-lama jauh dari internet. Bagaimana tidak, seluruh hidupnya ada di sana. Kebahagiaannya, kesedihannya, hiburannya dan bahkan kematiannya jika saja Tuhan menakdirkan dirinya untuk mati di depan monitor.

"Bang Kijun, jangan lupa lantai atas disapu, bang!" Teriakku ke lantai atas.

"Sip bos!" Bang Kijun balas berteriak. Seperti biasanya, dia baru akan bergerak satu jam kemudian. Bukan hal yang aneh.

Setelah merapikan bilik-bilik komputer, menyalakan komputer kasir, duduk manis di depan layar monitor aku langsung menuju situs tempatku bercerita. Wattpad ...

Sama seperti orang kebanyakan, aku berada di sana untuk menulis. Tidak perduli ada yang membaca atau tidak, ada yang menyukainya atau tidak. Yang terpenting aku bahagia. Aku bisa hidup dalam duniaku sendiri tanpa perlu bersusah payah berjuang. Apalagi, di dunia tulisan itu aku bisa jadi apapun dan siapapun. Mau terbang? tinggal tulis. Mau jadi kaya? tinggal tulis. Mau pacar yang sempurna? tinggal tulis. Apapun dengan mudah kudapatkan ...

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang