Act 41. Worries

1.2K 147 96
                                    

Previous Act :

"Kian ... besok datanglah ke rumah. Bawa pacarmu sekalian. Ayah dan ibu ada hal yang harus diselesaikan dengan kalian." Suara sedih ayahku terdengar di speakerphone.

"Ada apa, ayah? Ayah bertengkar dengan Ibu? Kalian baik-baik saja, kan? Farin tidak kenapa-kenapa, 'kan?"

Tidak ada jawaban dari ayah. Ia hanya membalasku dengan kalimat pamit darinya. "Sudah dulu, nak. Besok akan kami jelaskan. Datang saja besok."

"T-tapi, Ayah." Beep. Telepon ditutup.

Perasaanku mendadak tidak enak. Ada apa lagi dengan mereka?

☽❁☾

Rumah ini sudah banyak berubah. Seorang asisten rumah tangga sudah aktif bekerja dan terlihat berlalu-lalang, berkegiatan. Berkat kamarku yang dijadikan gudang rumah ini terlihat lebih rapi. Furnitur dan perkakas tak perlu sudah tak terlihat di manapun aku memandang.

Seperti permintaan ayahku kemarin, aku mengajak April untuk turut datang ke sini. Pikirku, April akan nyaman berada di sini untuk bicara dengan orang tuaku. Nyatanya tidak demikian. Ia memilih duduk di teras luar, bermain gawai atau sekedar menatapi sekitar kompleks tanpa tujuan dari kursi rotan di sana. Ia enggan ikut campur urusanku dan orang tuaku.

Selesai berganti pakaian, ayah dan ibuku duduk di seberangku. Melupakan makan malam mereka demi bicara serius denganku. Jika ayahku terlihat santai dan lebih bebas setelah melepas pakaian kerjanya, ibuku terlihat tidak luwes. Ia bahkan tidak melepas riasan wajahnya meski ini sudah malam. Melihat pertanda itu darinya, aku tahu jika pikir ibuku ia tak hanya akan bicara denganku saja, ibuku sudah bersiap untuk bicara dengan April.

"April mana? Suruh masuk!" Dugaanku tepat. Suara tegas ibuku membuatku otomatis menjawab perintahnya tanpa babibu.

"Dia tidak mau tahu urusan keluarga kita, Bu." Jujurku, seadanya.

"Suruh masuk!" Ia mengulangi lagi kalimat perintahnya. Aku melirik pada ayah yang sekarang memberiku kode agar aku menuruti permintaan ibuku tanpa banyak bicara. Lagi-lagi Ayah terlalu menurut pada Ibu.

"Baiklah." Aku beranjak dengan langkah gontai menuju pintu utama. Saat aku membuka pintu, April sedang asyik chatting dengan teman-teman sekelasnya di grup Whatsapp. Dari layarnya, kubaca jika ia sedang membicarakan tugas kuliahnya. Aku terpaksa mengganggunya. "April, Ibu saya ingin kamu masuk."

April menelungkupkan layar ponselnya, mendongak, menoleh padaku dengan wajah enggan menurut.

"Tolonglah. Ini bukan keinginan saya. Kalau kamu tidak masuk akan sulit bagi saya di dalam nanti. Turutilah saja. Saya mohon." Aku berharap banyak padanya.

April menghela napas panjang. Melenguh jemu menyayangkan kenyataan yang mendesak. Tak lama, ia masuk ke dalam bersamaku. Mengikuti langkahku dengan wajah tak antusias. Meski begitu, ia tetap sopan dan menyapa kedua orang tuaku lewat anggukan kepala dan senyum rikuhnya. "Selamat malam, Bapak ... Ibu."

Aku langsung menepuk bantalan sofa dekatku, menyuruhnya duduk di sebelahku. Begitu ia mendarat di sofa, ibuku yang entah sejak kapan sudah melipat tangannya, angkat bicara.

"Kian, April. Saya katakan jujur dari sekarang. Saya tidak suka kalian tinggal berdua." Kedua mata ibuku beralih sepenuhnya pada April. "Kalau kamu nantinya hanya memberatkan anak saya, lebih baik kamu keluar. Kamu punya orang tua, 'kan?!"

April langsung membuang muka. Wajahnya dengan jelas mengguratkan perih. Ia tersinggung atas perkataan ibuku. Aku yang enggan membuat April berlama-lama dihardik Ibu, mengalihkan pembicaraan. "Jadi apa yang ingin Ibu katakan pada saya? Setelah 15 hari tidak menanyakan keadaan saya sama sekali, Ibu sampai menyuruh Ayah menelepon saya untuk ke sini.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang