Previous Act :
"Saya takut. Saya takut kamu menyerah dan meninggalkan saya. Saya takut kamu pergi. Makanya saya berusaha membenci kamu. Tapi nyatanya sulit. Saya tidak bisa begini terus pada kamu." Wajahku dibelainya.
Aku tertawa kecil. Menimpuk pundaknya dengan tanganku. "Kenapa tidak bilang dari awal. Saya pikir kamu ingin putus."
"Memang sempat ingin putus."
Aku tak melanjutkan bicaraku dan bicaranya. Membiarkannya berakhir di situ. Takut nanti kami bertengkar lagi dan menjauh. Aku sudah bersusah payah mencapai titik ini dan menunggunya dengan sabar. Aku tidak bisa mengganggu momen ini.
Hanya senyumanku yang kuberikan padanya dan ia membalasnya. Ia menciumku, aku menciumnya, kami berusaha kembali jadi pasangan seperti hari-hari kami sebelumnya.
Hingga, satu bulan kemudian.
Kenyataan itu datang.
Aku tiba di hari di mana dia dengan tegarnya berkata,
"Kian ..." Ia melepas tanganku, "Kita putus saja."
☽❁☾
Tidak seperti dalam film atau novel. Perpisahan kami jauh dari kata dramatis. Malamnya kami masih menghabiskan waktu bersama. Aku masih makan berdua dengannya, masih menatapi wajahnya. Yang berbeda, hanya perasaan sakit dalam dadaku yang tak bisa kuperlihatkan dengan nyata. Hanya bisa kuungkapkan lewat ekspresi wajahku dan caraku menghembuskan napas.
Jiwaku terkadang berteriak dan meronta, lalu sedetik kemudian jiwa ini terdiam. Beberapa jam setelahnya hatiku menangis, lalu seperempat detik kemudian timbul kesal. Semua bercampur aduk mengisi relung diri, memecah belah isi palung hati yang sudah remuk.
Tak ada lagi pertanyaan keluar dari mulutku. Tak ada lagi kalimat yang mendesaknya untuk mengatakan apa maksudnya mengakhiri hubungannya denganku. Tanganku yang gatal ingin hinggap di tangannya, bibirku yang membuncah ingin menyesapi bibirnya, jemariku yang ingin menelanjanginya dan menjamahinya agar ia memberiku kesempatan baru ~ tak berkutik.
Aku hanya diam, dia pun hanya diam. Tak memandang satu sama lain karena takut yang kami lakukan hanya akan menambah sakit di hati.
Keesokan harinya, ia mengepak pakaian-pakaiannya ke dalam tas. Semua benda miliknya satu persatu direnggut dari kamarku. Dibungkus seadanya, lekas-lekas ingin melarikan diri. Sementara itu aku hanya duduk di atas kasurku. Mati rasa. Hatiku yang semalam sakit, hari ini bahkan tak menampakkan taringnya. Hanya mematung membuatku seolah beku luar dalam.
Sesekali, aku memandangi punggungnya yang membelakangiku. Berharap ia menoleh dan mengatakan sepatah kata kecil untukku. Sayang, ia tak menyambutku. Semakin mataku mencarinya, semakin ia mempercepat gerak tangannya. Ingin pergi dariku. Derita ini berlanjut hingga Faris datang saat mentari meninggi dan memecah sunyi dengan sayu tangannya di pundakku.
"Jujur, aku tidak tahu harus berkata apa melihat kalian begini." ucapnya, tepat saat April sudah meninggalkan kamar, memindahkan barang-barangnya ke mobil Faris.
Hanya hembusan napas panjang yang bisa kuberikan sebagai jawabanku.
"Aku ingin sekali membantu kalian, tapi aku tidak punya cukup uang sekarang. Mobil yang kupakai juga sedang kuupayakan agar segera terjual. Orang tuaku membutuhkan dana untuk keluar dari masalah kami.
"April juga tidak bisa lama-lama tinggal di rumah kontrakan kami. Orang tuaku hanya membolehkannya tinggal untuk beberapa bulan. Selepas itu dia harus cari tempat tinggal sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Cliches (BL Novel)
RomanceTidak ada seorangpun yang sempurna di muka bumi ini. Semua klise itu tak nyata. Mereka tak ada di sana saat aku membutuhkannya. Klise itu, bisakah aku mewujudkannya? A wattpad boys love roman (novel) fully created by Kanata Gray. Novel Debut : 08...