Act 50. After The Debts

1.1K 130 87
                                    

Previous Act :

Aku juga masih menunggu diriku sendiri. aku ingin melihat sejauh apa diriku teguh melindungi dirinya. Apakah aku akan tetap sama padanya meski kehilangan uangku demi dirinya? Apakah cintaku yang belum mantap ini akan berkurang atau hilang? Apakah hubungan kami akan terus berlanjut seperti keinginan kami hari ini?

Aku siap dengan semuanya, siap dengan badai dan petir yang menyambar. Tak sabar dengan hari esok. Apapun itu, aku akan menghadapinya dengan tubuh tegak. Aku tak akan menghindari apapun lagi ...

Darahku, lukaku baru saja mengikatnya. Tapi meski begitu tidak jadi jaminan atas kebenaran kenyataannya setelah ini.

Kami akan segera menyaksikan sekuat apa ikatan perasaan kami dan bagaimana titik kecil dalam hati kami ini akan bertahan.

We'll see ...

☽❁☾

Dia menyebutku ratunya. Lucu sekali.

Setibanya di kamar kosku aku langsung dibopongnya ke tempat tidur sementara ia berjibaku dengan baju-baju cucian kami. Saat kutanya kenapa ia ingin mencucinya tengah malam begini ia hanya bilang, "Biar capeknya sekaligus. Besok saya mau rawat kamu, 'kan."

Maka wajahku pun jadi merah semu dibuatnya. Padahal, meski kami menaiki pesawat bukan berarti kami tidak lelah. Perjalanan dari bandara ke sini tetap memakan waktu dan tenaga. Jalanku yang terpingkal juga menghambat semuanya. Membuat aku dan April memakan waktu lebih banyak di perjalanan. Tapi ia tidak lelah sama sekali, atau mungkin mencoba untuk terlihat tidak lelah meski nyatanya letih.

Berbeda denganku dan April yang sudah kembali dengan selamat ke kediaman kami, Faris dan Haikal masih dalam perjalanan hingga sekarang. Karena mereka memberi tiket pesawatnya padaku dan April, mereka terpaksa pulang dengan kereta dan wajib pasrah menghabiskan berjam-jam duduk hingga jenuh di sana.

Padahal awalnya aku menolak keras. Apalagi kupikir, maskapai tidak akan membolehkan penumpang menggunakan tiket orang lain. Beruntung, Faris membeli tiket penerbangan maskapai lokal yang tidak terlalu memusingkan peraturan itu. Aku dan April pun akhirnya bisa terbang dengan meminjam KTP Faris dan Haikal. Ya, meski ujungnya kami jadi keluar uang lagi karena harus pesan mobil travel dari Jakarta ke Bandung dan uber ke kosku.

Kenapa juga Faris memutuskan beli tiket penerbangan ke Jakarta? Kenapa tidak langsung ke Bandung, sih? Apakah tentang ini yang sempat mereka ributkan dengan jasa travel online itu? Apapun itu, aku tetap berterimakasih sekaligus wajib merasa tidak enak pada Faris. Bagi sekaliber anak kuliahan seperti kami, hal yang begini sudah cukup besar dan mahal, lho. Tiket pesawat bukan traktiran bayar gojek atau sekedar traktir bayar taksi saja. Jika terjadi pada orang lain, hal seperti ini bisa jadi masalah besar yang merusak pertemanan. Apalagi tiket yang dibayarnya juga tidak murah. Kami beruntung Faris begitu baik hati. Meski dipaksa Haikal ...

Lalu, bukannya tidur seperti permintaan April. Aku malah melamun, menunggu April kembali ke kasur. Mendadak tidak bisa sendirian tanpanya. Sepuluh menit, dua puluh menit, bahkan hingga satu jam pun berlalu, April tidak juga kembali ke kamar. Padahal aku yakin cucian kami tidak sebanyak itu. Biasanya, meski cuci pakai tangan pun ia tidak pernah lama-lama kalau mencuci baju. Kami juga selalu menghemat pakaian yang kami pakai. Satu jeans bisa untuk dua atau tiga hari, kaus pun bisa untuk dua hari. Hanya celana dalam saja yang berganti setiap hari. Tapi kenapa lama begini?

Karena penasaran, aku pun bersusah payah beranjak ke luar, menyeberang halaman untuk menuju kamar mandi. Begitu sampai di sana, aku dikejutkan pemandangan yang membuatku iba pada April.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang