Act 21. Hypocrite

2.2K 236 83
                                    

Previous Act :

April menunduk dengan dua tangan yang mengepal. Menelan ludah. Memegangi kepalanya, berusaha bicara sambil menguatkan diri. "Apa kita bisa mulai lagi dari awal?" tanyanya dengan pipi memerah.

"Mulai apa?"

Ia memiringkan kepalanya. Bicara malu-malu, menggaruki kepalanya tak gatal. "Seperti awal lagi, berkenalan, jadi teman baik, saling membantu."

"Memangnya untuk apa? Tidak ada gunanya juga. Kita sudah berantakan sekarang. Semua cacatmu, Haikal, Faris, sudah terlihat jelas. Saya sudah tidak bisa melihat kalian dengan cara yang sama seperti pertama kali saya melihat kalian waktu itu. Saya juga bukan orang yang naif. Jangan mengusahakan hal yang tidak perlu." kataku. Membalikkan tubuhku, kembali melangkah begitu kalimatku selesai.

"Tapi, Kian!" April setengah berteriak, mencoba menghentikan langkahku. "Kalau saya coba untuk suka kamu bagaimana?!"

Lalu langkahku terhenti. Aku sempat berpikir ingin membalikkan tubuhku dan bicara padanya. Tapi aku merasa hampa hari ini. Tidak merasa butuh akan dirinya.

Lalu Haikal muncul dari balik pintu, berjalan ke hadapanku, tersenyum lebar. Dugaanku, ia sudah mendengar perbincangan kami yang terdengar lantang sejak tadi.

Haikal melirik April, lalu menatapku. Begitu tangannya berhasil melingkar di leherku, bibirnya sengaja mencium bibirku. Keparat!

☽❁☾  

"Kamu ini apa-apaan?!" Aku mengelap bibirku dengan tangan begitu berhasil mendorong tubuhnya dariku. "Kesetanan atau apa, sih!"

Haikal malah tersenyum manis. Memegangi tanganku, menatapku dalam-dalam. "Kian, aku sudah memutuskan. Aku mau pacaran denganmu." 

Laki-laki dengan tubuh yang terdefinisi baik di depanku ini memelukku. Sementara itu April sudah melangkah kesal ke dalam rumah. Untuk suatu alasan, April tersinggung. 

Aku berkacak pinggang, menghadapi Haikal dengan wajah masam. "Kamu ini sudah gila." 

Haikal melunak, sedikit tertunduk. "Gila? tidak. Aku cuma sedang belajar untuk tahu diri. Faris benar, kalau aku harus suka dengan seseorang ... seharusnya aku suka padamu. April tidak mungkin mau pacaran denganku. Bagaimanapun kita berbeda. Tapi kamu ..." 

"Iya, kita sama-sama gay. Sama-sama suka batang. Tapi bukan berarti saya otomatis mau jadi pacar kamu. Saya tidak suka kamu, Haikal!" Jelasku, penuh penekanan. 

"Iya, aku tahu. Tapi kita bisa mulai pelan-pelan. Ada banyak jalan untuk kita lalui." 

"Terserah!" kataku sambil berjalan menuju pintu. Bermaksud meninggalkannya di luar. Tapi, baru beberapa langkah saja, ia sudah berlari ke arahku. Merangkulku sok dekat.

"Aku ingin bicara denganmu." katanya setengah berbisik, terdengar begitu centil dan nakal, "Kita ke kamar, yuk." 

"Tidak mau, saya mau pulang." Hentakku. Melempar tangannya dari pundakku. Beranjak menuju rumah. Setibanya di ruang tamu utama, April sudah tak terlihat di manapun aku memandang. Dari kejauhan terdengar suara motor yang menderu. Ia pergi.

Tadi aku memang membentaknya, tapi melihat April pergi seperti ini aku jadi merasa tidak enak. Kedua kakiku spontan berjalan menuju pintu utama, pergi meninggalkan rumah ini bak kucing yang sekadar menumpang lewat. Tak memperdulikan tata krama karena terlantas dibalut amarah nan muak dengan semua yang ada di sekitarku.

Bukannya sadar kalau aku gusar dan tak ingin bicara dengan siapapun, Haikal malah terus mengikutiku. Bahkan hingga aku berada dua puluh meter dari rumah Faris. Ia setia berjalan di belakangku, mengamatiku menyusuri trotoar. 

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang