Act 39. A New Start With You

1.2K 153 106
                                    

Previous Act :

"Saya mengerti, Ayah. Tenang saja, saya akan menuruti kalian." Pada akhirnya aku menyerah pada keadaan. "Sebelumnya, boleh saya bertanya satu hal?"

"Apa, nak?"

"Apa ayah tahu siapa yang menularkan TBC ke Farin? Apa ayah tahu di mana orang itu, sekarang?"

Ayah menghela napas panjang. "Kakakmu tertular dari pacarnya, Gio. Dokter bilang dia sudah lebih dulu mengidap sementara kakakmu baru dalam tahap awal infeksi. Sekarang orang itu sudah meninggalkan rumah kos. Tapi kakakmu tahu alamat rumahnya. Memangnya kenapa, nak? Orangnya sudah meminta maaf pada kami. Kami juga sudah bertemu keluarganya." Ayahku terdengar seperti sedang membela orang itu. Tapi aku tidak mau begitu saja menerima ini dengan lapang dada.

"Ah, tidak. Saya hanya bertanya saja. Syukurlah kalau dia sudah minta maaf. Orang itu sudah membuat kakak berhenti minum obat." Tanpa sadar, senyum palsuku mengembang.

Si brengsek itu harus mendapat ganjarannya. Mulut si brengsek itu harus dijejali batu supaya tahu akan kesalahannya. Aku harus mendapatkan alamatnya. Harus! Akan kuhajar brengsek itu hingga habis. Kita lihat saja ... cepat atau lambat aku akan datang untuk menghabisinya.

☽❁☾

"HAHAHA!" April tertawa lepas begitu mendengar rencanaku yang ingin memukuli Gio sampai babak belur.

"Kamu kok malah tertawa, sih?!" tanyaku, sedikit gemas mendengar suaranya di telepon.

"Habisnya, kamu ini lucu. Sudah tahu orang sakit, masih ingin kamu pukuli juga." Ia masih terkekeh. "Hei, dalam beberapa tahun lagi dia pasti mati. Untuk apa susah payah kamu pukuli? Lagian, kamu beraninya dengan orang lemah."

"Ck ... April! Dengar. Kamu boleh tertawa sepuasnya. Tapi coba bayangkan, bagaimana rasanya jika kamu jadi saya! Memangnya saya bisa tenang, kakak saya ditulari penyakit seperti itu oleh dia? Bagaimana kalau kakak saya tidak kuat? Ini bukan tentang saya yang kekanakan atau saya yang cuma berani dengan orang lemah. Ini tentang tanggung jawab dia sebagai sesama pengidap HIV.

"Saya hanya tidak rela dia merusak kakak saya. Lagipula orang goblok mana yang membujuk orang lain untuk berhenti minum obat? Maksud saya, kalau dia mau mati cepat ... dia harusnya tidak usah ajak kakak saya, dong?! Wajar 'kan kalau saya kesal?" cerocosku, panjang lebar.

Tawa April mulai surut. "Tapi sudahlah, Kian. Memangnya dengan kamu memukuli Gio, kakak kamu bisa pulih? Tidak, lho. Yang ada kamu malah merusak nama kamu sendiri. Apalagi kamu besok pindahan. Kalau sudah tinggal sendirian, harusnya kamu tidak membuat masalah lagi. Jangan sampai orang tua kamu marah pada kamu, Kian." Ia dengan tenangnya menasihatiku yang masih terbakar amarah.

"Hei, Saprol! Jangan lihat ini dari sudut pandang kamu, deh. Coba bayangkan kalau saya, pacar yang kamu cintai ini ditulari penyakit oleh orang lain. Apa kamu tidak marah? Apa kamu cuma akan diam? Coba pikir!" Tusukku, menyuruhnya mengubah pandangan.

"Uhm, kalau itu. Saya pasti marah." jujurnya.

"Nah, makanya itu. Tolong bantu saya. Setidaknya bantu saya carikan alamat Gio. Kakak saya tidak mau buka mulut tentang makhluk jelek itu. Saya tidak ada jalan lain selain minta bantuan kamu. Besok selesai pindahan, kita harus pergi ke bekas rumah kosnya Farin untuk mencari informasi! Dan kamu harus ikut!"

April menghela napas panjang. "Iya, Kian. Iya ... saya akan bantu. Tapi tolong pikirkan lagi, ya. Saya hanya tidak mau kamu jadi gegabah. Bukan karena saya membela Gio. Tapi karena saya sayang kamu. Saya sayang sekali dengan kamu."

Pipiku langsung panas mendengar kalimatnya. Aku yang tadinya berapi-api dengan emosi, sekarang memutar-mutar jariku di dada, seperti anak remaja yang sedang kasmaran. Memalukan. "Y-ya, sudah. Besok kamu bantu saya ke sini, kan? Kalau mau bantu pindahan, jangan terlambat. Saya tunggu pukul 1 siang di kamar kos."

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang