Act 14. Big Baby

2.5K 295 37
                                    

Previous Act : 

"Kamu kapan libur kerja? Kalau ada waktu bantu aku menjenguk Haikal. Keadaannya buruk sekali."

"Memangnya Haikal kenapa?"

"Ceritanya panjang. Kabari saja kapan aku bisa ke tempatmu. Kita bertemu di warnetmu seperti waktu itu, Okay! Untuk sekarang, beristirahatlah ..."

"Baiklah, terimakasih ... Faris. Tapi Haikal kenapa?"

"N-nanti aku jelaskan. Jelasnya, keadaannya mencemaskan sekali, kupikir kau satu-satunya yang bisa membantu. Sudah dulu, ya. Selamat malam." Sambungan ditutup dan Faris belum menjawab pertanyaanku.

Apakah ini karenaku? Apa dia terluka? Apa gerangan terjadi padanya?

    ☽❁☾   

Fast forward ke hari Kamis. Faris datang ke rumahku pagi-pagi sekali, menjemputku dengan motornya. Aku sempat bersikeras ingin mengendarai motorku sendiri, tapi Faris bilang tidak perlu. Ia memaksaku duduk di belakang tubuhnya, menyaksikan punggungnya sepanjang jalan. Berkendara, mengebut sebisanya. 

"Memangnya Haikal kenapa?!" tanyaku, sebagian suaraku terhempas angin dan suara kendaraan lain yang juga melaju. 

"Nanti saja kujelaskan ..." Faris setengah berteriak, tak menoleh padaku, fokus ke jalanan. Dari nada suaranya, caranya bicara, ia marah campur khawatir. Haikal pasti begitu berharga baginya sampai-sampai ia seperti ini. 

Setengah jam kemudian aku tiba di kawasan perumahan elite. Jauh lebih bagus dari kompleks tempatku tinggal. Motor Faris berhenti tepat di depan rumah minimalis yang didominasi warna putih dengan aksen hitam dan abu. Faris memarkir motornya di halaman rumah itu begitu aku turun dari dudukku. 

Sementara aku melepas helmet di kepalaku, Faris sudah berjalan cepat menuju pintu utama. Kupikir ia akan berdiri sebentar di depan pintu dan menekan bel. Nyatanya, ia mendorong pintu, menyelonong masuk seenaknya. Ini memang rumahnya Faris ...

"Ayo masuk!" titahnya padaku. Tubuhku langsung mengikutinya yang masuk tanpa membuka sepatu sama sekali. "Haikal di lantai atas."

Faris menuntunku menuju tangga besar yang memutar, chandelier besar di langit-langit terlihat indah dari tempatku berada. Terus dan terus menuju lantai dua. Orang tua Faris pasti kaya sekali. Begitu sampai pintu kamar dekat ruang gym Faris berhenti, berbalik, berdiri menghadapku. "Kian, kumohon hibur Haikal. Aku tidak bisa melihatnya seperti ini. Aku tidak bisa lagi menampungnya di rumahku. Aku tidak bisa lama-lama berbohong pada orang tuanya. Kumohon bantu aku ..." 

Aku yang sama sekali tidak mengerti situasi ini hanya mengangguk pelan, tak berjanji ataupun mengiyakan. Aku juga tidak yakin kalau aku bisa menghadapi apa yang akan kulihat di balik pintu di depanku. 

"Tolong hibur dia." Faris membuka pintunya, mendorongku masuk, menutup pintu tadi dari luar. Seperti seorang pawang yang mengumpankan seekor angsa ke dalam kandang buaya. Kupikir yang kulihat akan menyeramkan atau apa. Nyatanya hanya Haikal yang terlentang lemas dengan mata sembab dan tissue yang berserakan di sekitarnya. 

"Haikal..." kata pertama yang kuucapkan berhasil membuatnya terduduk. Ia mundur ke sandaran kasur king size itu, menatapku penuh benci. "Kamu kenapa?"

Haikal hanya diam. Duduknya tak nyaman. Ada rasa sakit yang disembunyikannya. "Untuk apa kamu ke sini?"

"Saya ke sini karena Faris." Jujurku. Aku sendiri bingung kalau harus berbohong. Aku tidak memiliki persiapan apapun untuk sekedar bersilat lidah dan memanipulasi fakta.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang