Act 17. Clarissa

2.5K 256 39
                                    

Previous Act : 

Farin tersenyum simpul, "Iya, tidak akan rendah diri lagi. Bantu aku, ya..." ditariknya daguku ke dekat wajahnya. Dikecupnya bibirku lagi dan lagi. "I love you, lil bro."

Kami berpelukan. "Aku juga menyayangimu. Tolong maafkan ayah dan ibu. Aku tahu pasti tidak mudah bagi kakak, tapi mereka juga menyayangi kakak. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya. Jadi, jangan pesimis. Oke!" Tanganku menepuk punggungnya.

"Tentu ... lagipula aku punya kau. Adik rasa pacar. Hahaha ..."

"Ih, maunya!" Cubitan kecilku di pahanya dibalasnya dengan ciuman lainnya di bibirku. Lalu pintu kamar terbuka. Dari luar, ayah melihat kami dalam keadaan seperti ini. Kamar yang berantakan, Farin yang tidak mengenakan apapun selain celana pendek, aku dan Farin yang berciuman.

Kami memisahkan diri kami begitu pelan. Menunduk takut. Bersiap menghadapi konsekuensi apapun saat kami melihat ayah mengepalkan tangannya. Lalu ...

☽❁☾   

"Kian, keluar!" Ayah menyuruhku hengkang dari dalam kamar. Melihat tatapannya yang begitu serius dan menekan, aku menurut. Ayah terus menghujani Farin dengan tatapan benci saat aku berusaha melewati tubuh ayah yang kokoh di depan ambang pintu. 

Ayah masuk ke kamar Farin, berjalan ke arah Farin. Mengangkat leher Farin kemudian menggamparnya sekencang ia bisa hingga Farin mendarat di lantai. Sementara itu aku masih di tempatku. Berdiri di ambang pintu, menyaksikan amarah ayah beradu dengan wajah kakakku.

"Kami sudah kehilanganmu, jangan buat kami kehilangan adikmu." Ayah mengatakannya dengan suara pelan, tidak membentak, tidak menghina atau apapun. Tapi terdengar sakit. Menahan emosi itu sulit, aku tahu. Meluapkannya secara tenang seperti itu pasti lebih sulit lagi. Tanpa sadar hatiku merasakan sakit hatinya ayah.

Farin mendirikan tubuhnya, terduduk di lantai sementara ayah ambruk, terduduk di atas kasur. Farin terus menunduk tak mengatakan apapun. Ayah mendesis, memohon pengampunan, menutupi sebagian kepalanya dengan tangan. Seolah tak tahan akan sesuatu, namun tak ia luapkan. 

"Maaf, ayah ..." Kalimat kecil itu keluar dari mulut Farin, mengisi kekosongan. Aku yang masih berdiri di titik yang sama, begitu ingin mendatangi ayah. Ingin meminta maaf, ingin memeluk ayah tapi tubuhku malah membeku. 

Ibu berjalan dari lantai bawah, menginjaki setiap titian tangga dengan langkah dihentak. Aku tak berani menatap mata ibuku yang sekilas menatapku. Begitu kedua matanya mengarah ke dalam kamar Farin, ibu langsung menarik ayah dari dalam. Mengajak ayah menenangkan diri. Sama sekali tak bicara apapun padaku atau Farin saat ia menggiring ayah kembali ke lantai bawah. Ibu selalu seperti itu. Pendiam. Tidak cerewet seperti ibu kebanyakan jika dalam keadaan seperti ini. Wanita yang senyap, tapi senyapnya itu menakutiku.

Belaian tangan ibuku di punggung ayah membuatku sadar jika ibu juga merasa tidak enak sekarang. Mungkin ibu juga mendengar apa yang terjadi dari lantai bawah. Mungkin juga ibu sudah bisa menerka apa yang terjadi tanpa ayah perlu mengatakannya. Mungkin dan mungkin lainnya terus muncul di pikiranku, menjadi bising dan nyaring, membuatku nyaris teriak.

Farin menelan ludah, mengangkat wajahnya, menatapku tak berdaya. "Kian, maafkan aku." lirihnya.

☽❁☾     

Keesokan harinya ayah dan ibu bertingkah seolah tak terjadi apapun. Mereka beraktifitas seperti biasanya. Menyongsong hari kerja mereka, menikmati sarapan dengan wajah datar yang biasanya. Meski wajah Farin sedikit memar dan sekilas kudengar orang tuaku bertengkar di dalam kamar mereka, tak satupun kalimat tentang semalam muncul.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang