Act 13. A Late Night Call

2.8K 302 76
                                    

Previous Act : 

Farin menghela napas panjang. Menggenggam tanganku, erat. "Kian, berjanjilah untuk tetap di sampingku. Jangan membenciku setelah ini. Berjanjilah."

Ada sedikit jeda, aku sedikit mempertimbangkan. Lalu naluriku berkata... "Aku janji."

"Baiklah." Farin membelai wajahku. Mengecup bibirku. Menjauhkan lagi wajahku setelahnya. "Pertama-tama, aku sangat menyayangimu. Kau adalah adik paling tampan yang kumiliki. Kedua, aku jatuh hati padamu untuk pertama kalinya sejak aku kembali ke sini. Ketiga. kuakui hidupku berantakan saat kuliah, jadi aku bukan lagi anak baik-baik ...

"Lalu yang terakhir ... Ini berat untuk kuakui ...

"Kian ... Aku tahu ini akan mengubah pandanganmu tentangku. Tapi akan kukatakan dengan jujur. Sebenarnya, aku ..."

☽❁☾  

"Apa?! Tidak ... kau bercanda, 'kan?" Tubuhku menggelembur dengan kedua mata memanas. "Kau tidak mungkin seperti itu. Ini tidak benar. Katakan padaku, kau bercanda, 'kan!?"

Farin menunduk. Ia menggelengkan kepala. "Itulah kenapa aku harus dipisahkan. Aku adalah aib bagi keluarga ini. Kalau aku tidak di sini, semuanya akan lebih baik."

Kupegang bingkai wajahnya, kuhadapkan wajahnya padaku. "Hei! Kau pikir dengan pergi begitu bisa menyelesaikan masalah? Kau pikir kau tidak akan tersiksa? Kami ini keluargamu, ibu dan ayah saja masih menerimaku. Tidak logis kalau mereka tidak menerimamu."

Menyela, cepat. Membentak. "Memangnya kau tidak takut tertular?!"

Kedua tanganku gemetaran, turun darinya. Kembali menapaki lututku sendiri. "Takut? Iya ..." Kutegakkan kembali dudukku, kuhadapi wajahnya yang sekarang tertancap ke mataku. "Tapi kalau itu kau, aku tidak takut."

Kami berdiam diri, tenggelam dalam senyap. Lalu Farin menyimpan tangannya di atas tanganku. Ia meraihku, memelukku dalam-dalam. Tak mengatakan apapun. Ia hanya menangis kecil. Terisak di pundakku, menyesal setengah mati. 

"Siapa yang menularkannya padamu?" Bisikku di telinganya, terus mengusap punggungnya yang dingin. 

"Aku tidak tahu. Aku tidur dengan banyak lelaki."

Hatiku remuk mendengarnya.

☽❁☾  

Pagi harinya, aku terbangun di sebelah Farin. Kami tertidur mengenakan pakaian yang sama yang kami pakai untuk berlanglangbuana seharian kemarin. Terlalu lelah untuk ganti pakaian, terlalu malas untuk bergerak. Mata Farin terlihat sembab, wajahnya kuyu dan tidak secerah biasanya.

Semalam, untuk pertama kalinya aku melihat Farin meminum obat antiretroviral. Ia harus meminumnya tepat pukul 11 malam. Terlambat? Akan jadi petaka untuknya. Selama ini ia menyembunyikannya begitu sempurna dariku, ia tak menampakkan sakit sedikitpun padahal perutnya panas dan terbakar setelah meminum obat itu. Aku tak bisa membayangkan sakitnya meminum obat itu untuk pertama kali. Mual, muntah, lemas, perih, semua pasti dirasakannya sekaligus. Belum lagi saat itu ia masih di Malaysia. 

Tapi entahlah, Farin bilang penanganan medis di Malaysia jauh lebih cepat dan mudah. Pengidap HIV di sana tidak didiskriminasi seperti di sini. Mereka dengan mudah mendapat akses untuk pemeriksaan dan pengobatan. Untuk sekarang, Farin melanjutkan pengobatannya di sini. Dia bilang obatnya berbeda, tapi berfungsi sama. Ia meyakinkanku seperti itu. Ia bilang ia akan baik-baik saja. Tapi aku tidak yakin, aku terlalu khawatir. Aku bukan seorang dokter atau apapun, tapi logikaku bilang kalau obat a bukan obat b, dan meskipun mirip, mereka berbeda. Sampai kapanpun tidak akan bekerja dengan cara yang sama. Aku khawatir.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang