Previous Act :
Aku sangat lelah, aku sangat lelah. Aku ingin terlelap, terus dalam dunia mimpi tempatku bisa terbang meninggalkan semua ini. Di dunia di mana hanya akan ada aku saja dan tak ada lagi perih atas apa yang mereka perbuat padaku.
Satu goresan saja di urat nadiku. Hanya satu goresan dalam saja yang akan mereka temukan nanti.
Maaf, aku pergi begitu cepat.
Maaf, aku pergi ...
Selamat tinggal.
☽❁☾
Mata pisau sudah bertengger di atas nadiku. Hanya perlu satu goresan dalam saja. Satu tarikan sekuat tenaga yang bisa mengakhiri semua ini. Aku sudah menarik napas, hendak merobek kulitku. Tapi rasanya sulit. Rasanya tidak benar. Ada gelenyar rasa tidak enak yang terus membasahi detak jantungku, berkata kalau aku sebenarnya tak mampu melakukan ini.
Lalu aku mencoba lagi, memantapkan lagi hatiku.
Gagal.
Kucoba lagi, kali ini tanpa menatap pisaunya barang sedetikpun.
Gagal.
Terus kuulangi hingga berkali-kali namun hanya sayatan tipis saja yang hinggap di kulitku. Jangankan mengucur, menetes pun tidak. Luka yang kubuat terlalu jinak dibanding keinginanku.
Apa pisaunya tumpul? Apa aku terlalu lemas? Pertanyaan itu muncul. Membuatku makin ragu untuk melanjutkan.
Meski kuulangi lagi, lagi dan lagi. Kenyataannya tetap sama. Aku mampu melukai kulitku tapi tidak dengan nadiku. Tekanannya terlalu berat. Ketakutanku malah berlarut. Aku ingin semua perasaan dalam diriku berakhir, tapi tidak dengan tubuhku. Aku ingin semua penderitaanku selesai, tapi tidak dengan napasku. Apa sebenarnya yang kuinginkan? Aku tidak bisa hidup di antara dua pilihan itu? Aku harus bagaimana, sekarang?
Maka tangisku pecah lagi seiring dentingan jatuhnya pisau tadi dari genggaman. Seiring menetesnya sedikit darah di pergelangan tangan. Pada akhirnya aku hanya seorang pengecut yang takut mengambil keputusan.
Yang bisa kulakukan hanya menangis dan menangis. Terus terisak hingga tubuhku lelah dan tertidur di atas kasurku yang lembap.
☽❁☾
Tidurku terusik bebunyian dari ponselku. Mataku begitu berat, pandanganku buram, tubuhku begitu gerah dan panas tapi seluruh tubuhku menggigil kedinginan. Dari mataku yang terbuka setengahnya, aku tak lagi melihat sinar mentari menelisik. Lampu kamarku sudah tentu masih padam, hanya cahaya ponselku saja yang menusuk kedua mataku, memaksaku bergerak meraihnya dari atas meja.
Sebuah nama melayang di layar. Clarissa. Dengan jemariku yang gemetar kedinginan, cepat-cepat kuangkat teleponnya. Iapun berteriak. "YA AMPUN KIAN! SAYA SUDAH TELEPON BERAPA KALI LEWAT WHATSAPP TAPI TIDAK DIANGKAT JUGA. KAMU INI SUDAH MATI, APA?!"
"Clare, pelan-pelan bicaranya. Dilihat satu perpus, tuh." Suara Jihan terdengar tipis, menyelip ke telingaku.
"PEDULI AMAT! Pokoknya kalau tidak balas pesan lagi, kamu di-blacklist dari geng kita! INGAT ITU KIAN SANTANG! You understand?! " Ia lagi-lagi memekik, kali ini diakhiri jeda menunggu responku.
"Hahahaha!" Mendengar suaranya, mendengar teriakannya yang selalu bersemangat itu. Aku tertawa. Bukan karena suaranya yang seringkali terdengar lucu. Tapi karena aku teringatkan betapa aku melupakan perempuan yang katanya selalu ingin di dekatku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Cliches (BL Novel)
Lãng mạnTidak ada seorangpun yang sempurna di muka bumi ini. Semua klise itu tak nyata. Mereka tak ada di sana saat aku membutuhkannya. Klise itu, bisakah aku mewujudkannya? A wattpad boys love roman (novel) fully created by Kanata Gray. Novel Debut : 08...