Previous Act :
"Aku sangat menyayangimu, Kian." katanya, menatapiku dengan air mata menggenang.
Ini kali kedua air mataku membasahi bola mata. Sudah lama sekali aku tak melihat sosoknya yang sesungguh-sungguh ini, mengatakan kalimat dalam itu untukku. "Kak, kau tahu ... aku sudah lama sekali merindukan sosokmu yang seperti ini. Selamat datang kembali. Semoga kau tinggal lama mulai hari ini."
Farin tersenyum. Ia mencium keningku. Memelukku lagi.
"Kau tetap adik kecilku. Sampai kapanpun tetap adik kecilku. Kemarin-kemarin, saat kubilang ingin kita seperti dulu lagi, kau malah marah." Sekarang ia mengacak-acak rambutku, gemas. Tanpa sadar aku tersenyum karenanya. "Besok, karena kau libur... pergilah dengan Krisa ke pusat kota. Carikan aku tempat kos yang murah. Aku akan pindah dari sini..."
Aku melerai pelukan kami. Menatapnya tak percaya. "Pindah? Kenapa?"
Lalu wajah itu muncul lagi. Wajah sedihnya tadi pagi.
Kalau ini hanya karena pandangan ayah dan ibu, aku yakin ... kau bisa melaluinya.
"Kenapa kakak ingin pindah?"
☽❁☾
Pagi ini Farin tidak muncul di ruang makan. Ia memilih untuk berangkat lebih awal ke tempat kerjanya seperti kemarin. Meninggalkanku dengan ayah dan ibu yang diam seribu bahasa. Mereka tak acuh padaku, begitupun pada ketiadaan Farin di kursi meja makan. Tatapan mereka begitu dingin dan sinis. Apalagi saat Farin melintas di ruang tamu, keduanya menatap Farin penuh benci. Hingga pintu utama rumah ini ditutup, keduanya tak berniat mengantar kepergian Farin dengan ucapan salam atau sekedar mengingatkan Farin agar berhati-hati di jalan.
"Ibu, ayah, saya ingin tahu apa yang kalian bicarakan dengan kakak. Kenapa kalian seperti ini padanya?" tanyaku, beberapa menit setelah Farin pergi. "Padahal sebelum ini kalian baik-baik saja. Ada apa?"
Tidak ada jawaban. Ibu menyuapi dirinya dengan anggun, ayah kembali meneguk kopi hitamnya dan membuka koran. Aku nyaris berteriak meminta perhatian mereka. Beruntung, ayah meredamku dengan kalimatnya. "Kian, ayah ingin kakakmu tinggal sendirian. Bantu dia mencari kamar kos. Nanti kamu ayah beri uang."
Tipikal... ayah selalu membereskan semua masalah dengan uang. "Tidak bisa begitu, ayah. Ayah seharusnya memikirkan keadaan kakak nanti. Gajinya masih kecil, dia belum diangkat jadi pegawai tetap. Memangnya ayah tega membiarkannya hidup tak layak?"
Jemarinya meremas koran, menurunkannya perlahan. "Kian, dengarkan ayah ... yang ayah lakukan itu untuk kebaikanmu. Ibumu sudah setuju ..." ia menoleh pada ibu yang menatapnya balik dengan wajah datar.
"Ibu, saya tahu saya tidak dianggap apa-apa di sini. Saya mengerti. Tapi untuk kali ini saya minta ibu mengabulkan permintaan saya. Tolong pertimbangkan keputusan kalian. Tolong beritahu saya juga apa yang membuat kalian sampai seperti ini. Saya ingin dua hal itu saja, bu ..." pintaku, sangat.
Garpu dan sendok di tangan ibu meluncur, jatuh, membuat bunyi dentingan saat bersentuhan dengan piring. Dua tangannya menggebrak meja, mendirikan tubuhnya agar berdiri di hadapanku. Ia beranjak dari tempat duduknya, bergegas ke kamarnya, melangkah dengan kaki menghentak. Menyinggungku. Pintu kamarnya dibanting hingga membuat dentuman. Lalu terdengar suara tangisnya yang terisak, samar dari tempatku duduk.
"Kian, jangan pernah mengatakan ini lagi pada kami. Sekali lagi kamu bantah perkataan ayah ... keluar kamu dari rumah ini." Ancamannya, datar namun menusuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Boy Cliches (BL Novel)
RomanceTidak ada seorangpun yang sempurna di muka bumi ini. Semua klise itu tak nyata. Mereka tak ada di sana saat aku membutuhkannya. Klise itu, bisakah aku mewujudkannya? A wattpad boys love roman (novel) fully created by Kanata Gray. Novel Debut : 08...