Act 31. Trip To Your Heart

1.6K 154 64
                                    

Previous Act : 

Begitu sampai ke pertengahan lagu, April kembali bicara. "Saya ... saya juga merasa seperti itu ... pada Clarissa. Saya tidak pernah mempertanyakan kesetiaannya, tapi akhirnya kami tetap berakhir."

"Kamu begitu menyukai dia?" tanyaku, sedikit patah hati mendengarnya.

"Iya. Jauh lebih banyak dari perasaan kamu pada saya. Itupun kalau masih tersisa. Kamu juga sudah tidak berharap lagi, 'kan?" tanyanya.

"Masih, kok." kataku setengah berbisik. Berharap ia tidak mendengarnya, berharap suaraku termakan hembusan angin yang hangat.

Entah ia mendengar jawabanku atau tidak. Jelasnya, wajahnya menatapi pantai, namun tangannya menggenggam tanganku. Membuat jantungku berdebaran. "Kian, saya ingin mengatakan sesuatu pada kamu."

Mulutku terkunci, tak bisa mengatakan apapun. Hanya ada wajahku yang menengok ke wajahnya yang sekarang menatapiku.

"Kian. Maukah kamu ..."

☽❁☾

"MAU!" teriakku, malu-malu. "Saya mau!" Padahal April belum menyelesaikan kalimatnya.

"Heh! Saya belum selesai bicara. Memangnya kamu tahu saya mau bilang apa?" Tantangnya.

"Uuh-hm, kamu mau tanya apa saya mau jadi pacar kamu, 'kan?" Raguku. "Iya, kan?"

April memberi sedikit jeda, masih memandangiku sambil sesekali merapikan rambutnya yang tertiup angin. Ia terus menatapiku, tak memberiku jawaban apapun.

"Itu 'kan yang mau kamu tanyakan?" tanyaku lagi, memastikan.

April masih diam. Menatapi dua bola mataku dengan wajah datarnya.

"April, jawab woy!" Bentakku sambil meninju lengannya, pura-pura.

Lagi-lagi April hanya diam. Begitu wajahku merah dan terlihat kecewa, ia tertawa sekencang-kencangnya sambil menoyori kepalaku.

"HAHAHAHA! KIAN, KIAN! Dasar kamu ini ... Hahaha!" Ia menghapus air mata tawanya dengan sekali usap, puas dengan kesialanku. "Siapa juga yang mau punya pacar penjijik seperti kamu. Kamu itu merepotkan! Banyak mengeluh! Sok bersih! Lagipula yang saya tanyakan bukan itu."

Aku yang terpancing pun mulai menyerocos. "Habisnya, lagunya sedang romantis. Kamu juga tiba-tiba pegang tangan saya. Kamu tadi juga tanya, saya masih ada perasaan atau tidak ke kamu. Kamu juga menatap wajah saya lama sekali. Wajar dong, saya pikir kamu mau tembak saya." Kesalku, melepas earphone-nya dari telingaku. Segera berdiri dan beranjak menjauh darinya.

"Hei, Kian ... tunggu. Jangan marah dulu! Hey!" Ia mengejarku, memanggilku masih setengah tertawa. Menyebalkan. Ia pun menarik lenganku, membuatku berbalik dan berhenti. "Hei."

Tawanya langsung reda begitu wajah kecewaku menghadapnya. Ia kembali menarikku ke bawah naungan pohon tadi, menghindari tatapan orang-orang yang mungkin melihat kami. Setelah sukses membuatku duduk lagi di atas pasir, ia kembali duduk di sebelahku. Menggenggam tanganku lagi. Bicara dengan lebih lembut dan menenangkan dari sebelumnya. Mencoba membuatku mengerti maksudnya, perlahan.

"Kian, saya pernah bilang ingin bersahabat dengan kamu. Kamu waktu itu menolak karena saya bilang saya tidak mau pacaran dengan kamu.

"Tapi lihatlah sekarang. Kita sudah dekat. Saya sudah banyak bercerita tentang saya pada kamu dan sebaliknya, saya makin tahu banyak tentang kamu.

"Kamu tahu baik dan buruknya saya, kamu jadi saksi ke-alay-an saya. Saya bisa menunjukkan diri saya yang sebenarnya pada kamu dan begitupun kamu pada saya.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang