Act 5. Him

3.9K 441 70
                                    

Previous Act :

Setelah berpisah dengan Hafids yang berangkat menuju tempat parkir, Fiza kembali menarik perhatianku. Memberiku wajah khawatir miliknya. "Kian, aku katakan satu hal padamu. Berhati-hatilah dengan pak Dion. Dia tidak sebaik kelihatannya. Aku mengatakan ini untuk kebaikanmu. Jangan seperti laki-laki lainnya. Kamu anak yang baik, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan kamu."

"..." Aku tidak mengatakan apapun. Hanya mengangguk dan mengelim bibirku.

"Kalau begitu, hati-hati di jalan, ya! Semangat untuk besok!" cerianya. Ia berjalan menuju parkiran dan aku menuju jalanan, mencari angkutan umum. Kami sempat melambaikan tangan pada satu sama lain. Hanya sebentar. Sebagai perpisahan kami malam ini.

Belum beberapa menit aku selesai membicarakannya, pak Dion mengirimiku pesan.

Kian, Sabtu ini saya akan pergi survey untuk cari spot bazar. Kamu mau ikut?

Berkat perkataan Fiza tadi otakku jadi berpikir dua kali untuk membalas pesannya.

☽❁☾

Rumahku seakan kosong tanpa penghuni. Ayah dan ibuku tak terlihat ke manapun mataku memandang. Mereka sudah tidur di kamar mereka ... Lampu di dalam sudah dimatikan, membuatku terpaksa berjalan dalam gelap, menyaksikan seisi rumah yang terlihat monokrom.

Begitu sampai di lantai atas, Farin membuka pintu kamarnya. Kamar yang tadinya jadi tempat penyimpanan barang-barang tak dipakai itu sudah pulih ke fungsinya semula, menjadi kamar Farin. Dari tempatku berdiri, terlihat jika bagian dalamnya sudah rapi dan layak ditempati. Hanya tersisa beberapa kardus barang-barang milik Farin yang perlu disortir dan disusun ulang. Kebanyakan hanya buku-buku bekas kuliahnya dan beberapa novel kesukaannya.

"Bagaimana harimu?" tanya Farin yang menyembul dari ambang pintu. Hanya mengenakan celana pendek, bertelanjang dada, berkeringat.

"Baik-baik saja. Masih beres-beres kamar?" singkatku, basa-basi.

"Sudah hampir selesai. Mau membantu?" Farin membuka pintu kamarnya lebih lebar lagi. Menyingkapkan seisi kamarnya padaku. "Tinggal empat kardus itu. Aku ingin cepat selesai, tapi aku lelah."

Padahal yang kemarin-kemarin mengangkut barang-barang berat kan, aku? Kenapa kau yang lelah?

"Aku juga capek, kenapa tidak besok saja, sih?" protesku. Membuat wajahnya sedikit kecut.

"Ya sudah kalau tidak mau bantu. Setidaknya masuklah sebentar." ia menarik tanganku ke dalam kamar. Aroma keringatnya yang familier tercium jelas olehku. Ia membuatku kikuk saat menangkap mataku tertancap ke kulit tubuhnya yang basah. "Aku pakai kaus dulu, sebentar ..."

"..." aku hanya bisa diam menyaksikan sisa pertunjukkannya untukku. Menyayangkan ulah kedua mataku yang usil.

Farin menunjuk salah satu kardus miliknya. "Ini, berisi buku-buku akuntansi, ilmu hukum dan beberapa buku psikologi populer. Aku ingin semua ini jadi milikmu. Setidaknya bacalah beberapa untuk dirimu sendiri. Bawalah!"

Ia menggeser kardus itu dengan kakinya, mendorongnya ke arahku. Aku menolak. "Kamarku sempit, aku tidak punya ruang untuk menyimpan ini semua. Kamarmu 'kan luas, simpan di sini saja. Biar aku kemari kalau mau pinjam buku." Simpelku.

"Ya sudah kalau itu maumu, tapi bantu aku menyusunnya besok. Okay!"  Farin melempar tubuhnya ke atas kasur besarnya. Menghela napas lega, menikmati momennya sendiri sambil meregangkan tubuh. "Aku sudah mau tidur. Enyahlah ..."

Aku menuruti perkataannya, pergi dari kamarnya begitu saja. Berangkat menuju kamarku sendiri. Lalu ingatanku tentang kamar itu mulai kembali. Mengitariku, meruntuhkan tembok lupa dalam otakku. Memutar kembali semuanya seakan masih baru.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang