Act 48. Naked Love

1.2K 160 85
                                    

Previous Act :

"Pukul saja. Bunuh saja saya kalau mau! Tidak akan ada yang mencari kita! Baik ayah kamu atau orang tua saya. Kita tidak punya siapapun lagi." Responsku pada dirinya yang hendak mencekikku.

"AARGH!" Ia berbalik, menghadap dinding. Dua tangannya memukuli dinding dengan geram. Bukannya menyerah, aku memeluk tubuh setengah telanjangnya dari belakang. Terus saja menyesapi lehernya, memainkan tanganku di dadanya dan bagian terintim dirinya. Meski rintihan kesalnya masih terdengar darinya, aku tak menghentikan aksiku. Terus saja kumainkan trik milikku biar ia berpaling kembali kepadaku. Dan itu berhasil.

Begitu tubuhnya berbalik padaku, aku sudah turun dan berlutut di hadapannya. Memainkan bagian dirinya dengan mulutku. Menikmati diamnya yang tak mampu lagi melawan karena serba salah olehku. Permainan pun dimulai.

☽❁☾

"Kian ... Kian ... berhenti ... tolong!" Ia berusaha keras terdengar sedang menolak, tapi suaranya yang mengerang dan tubuhnya yang sedikit menggelinjang ini tak membodohiku. Apalagi mulutnya sedikit terbuka dan wajahnya berbeda dari biasanya. Sudah tidak perlu dipertanyakan kalau April juga menikmati ini. "Kian ... hentikan ..."

Aku terus saja beraksi di tubuh bawahnya meski tangannya yang mendadak lemas itu berusaha melepasku dari dirinya. Tangan dan lidahku secara simultan bermain lebih liar, miliknya masuk lebih dalam setiap kali leherku bergerak menyokong mulutku yang melahap bagian dirinya itu.

Tak lama kepalanya menghadap langit-langit, tubuh bawahnya mencondong ke arahku menandakan ia sudah tak lagi menolakku. Begitu ia terdengar begitu menikmatinya, aku berhenti. Membuatnya tercengang dengan mulut menganga, mempertanyakan mengapa aku berhenti saat nikmatnya sudah mulai intens. "Kenapa?"

Saatnya aku melancarkan trik-ku. Aku hanya tersenyum, memutar knop shower ~ mematikan aliran air dan melepas handukku untuk mengelapi tubuhnya. Ia memalingkan wajahnya malu-malu, apalagi saat tanganku mengelapi bagian tubuhnya yang menegang kuat. Pipinya bahkan merah padam saat aku menyentuhnya.

"Kita lanjutkan di kasur, ya?!" pintaku.

Ia malah menatapku tidak enak. "Tiba-tiba sekali. Saya kaget sekali, Kian. Kamu yakin dengan ini?"

"..." Aku tidak tahu harus menjawab apa padanya. Tapi kedua tanganku sekarang melepas kaus yang tadi gagal kulepaskan darinya. Seperti boneka yang berada dalam kendaliku, ia menurut saja begitu tanganku memberi sinyal agar ia melepas celana yang masih menyangkut di kakinya.

Tanganku pun menarik tangannya, menggiring tubuh telanjangnya menuju kasur. Tubuhnya basah, tubuhku juga basah. Tetesan air dari rambutnya membasahi wajahku karena aku membiarkannya berada di atas tubuhku. Tanpa memberi jeda lama-lama, aku memagut bibirnya sambil memainkan tanganku di sekujur tubuhnya.

Bukannya menikmati, ia malah melerai tubuhnya dariku. Beranjak dari kasur, berdiri memperlihatkan seluruh tubuhnya, menatapku benci. Bagian dirinya yang tadi sempat menegang sekarang melemah dan turun ke tempatnya semula. Menggagalkan usahaku untuk menjerat dirinya lagi. Kupikir aku tengah berhasil ... huh ...

"Saya tidak mau ini. Saya tidak mau." marahnya.

"Kenapa? Bukankah ini tujuan terakhir kita hari ini? Kita batal pergi ke luar. Kamu gagal membuat hari ini jadi indah seperti janji kamu kemarin. Bukankah wajar saya ingin lebih cepat begini?" cerocosku.

Ia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Saya tidak berhak atas tubuh kamu. Kamu juga tidak berhak atas tubuh saya. Keadaannya tidak tepat, Kian."

Aku terduduk, tersulut perkataannya. "Kata siapa? Kamu pacar saya. Kamu milik saya. Saya milik kamu. Tidak ada yang namanya tidak berhak!"

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang