Act 28. The Past Month + April

1.6K 177 43
                                    

Previous Act :

Setelah aku runtuh dan berhenti mencoba, ia menghadapku sepenuhnya. Berdiri sedikit jauh dariku, memberi batasan jelas kalau ia tak ingin kusentuh lagi. "Kian, aku tahu yang kita lakukan ini salah. Aku tahu aku salah karena punya cinta pada adik kandungku sendiri. Tapi harusnya kau lihat bagaimana perjuanganku, bagaimana aku selalu ingin melindungimu dari apapun. Bagaimana aku berusaha dan terus bekerja lembur hanya demi bisa cepat pindah kosan dan bisa bersamamu.

"Apa kau tidak pernah memikirkan itu? Kau pikir aku hanya nafsu saja padamu? Kau pikir aku ini sedangkal itu?" Ia gemetaran, kedua matanya juga memanas. Ia sempat mendongakkan kepala menatapi langit malam yang bertaburan bintang. Menahan agar air matanya tak turun. Begitu air matanya kembali tertahan, ia kembali menatapku dengan wajahnya yang sayu. "Kian, aku ini cinta padamu. Cinta.

"Dan sekarang kau kehilanganku.

"Jangan pernah meneleponku lagi, jangan pernah menemuiku lagi. Enyahlah dari hidupku!" Farin membalikkan tubuhnya, berjalan gontai meninggalkanku sendirian. Sementara itu aku tenggelam dalam tangisku yang bisu dan tak berair mata, menyaksikan satu-satunya malaikat pelindungku membuat jarak denganku. Menyadari tingkah diriku yang begitu keterlaluan karena menyiksa perasaannya seperti ini. Menyadari betapa bodoh dan tololnya aku karena tergoda nafsu tololku. Aku hancur.

Lalu satu minggu, dua minggu, bahkan satu bulan berlalu sejak malam itu. Aku tak bisa lagi menghubunginya. Ia tak pernah menghiraukanku. Aku pun kehilangannya. Salahku ...

☽❁☾

Satu bulan ini, aku merasa sial sekali ...

Dimulai dari malam itu, malam saat aku bertengkar dengan Farin. Setelah Farin pulang ke kamar kosnya dengan tangan berdarah-darah, aku tak langsung pulang dan malah diam di minimarket itu hingga satu jam kemudian. Aku tidak menelepon Farin atau apapun karena ia pasti akan sangat murka padaku. Makanya aku menunggu esok harinya untuk meneleponnya. Lalu sesampainya di rumah, aku kena marah ayahku karena pulang begitu larut.

Keesokan harinya, saat aku mencoba menelepon Farin. Nomorku diblokir. Media sosialku pun demikian. Aku sama sekali tidak punya akses untuk menghubunginya. Tak kehabisan akal, aku menelepon kantornya. Aku sampai berdalih ini-itu agar bisa bicara dengan Farin. Tapi, Farin sama sekali tidak menjawab apapun meski aku tahu kalau ia mendengarkanku bicara.

"Kak, aku minta maaf. Tolonglah, jangan seperti ini. Aku ingin bicara denganmu. Aku mohon." Lalu sambungan ditutupnya sepihak. Aku hanya bisa memendam sesal saat nada panggilan yang diakhiri itu mengalun lewat speakerphone ponselku. Farin semurka itu padaku.

Belum cukup remuk karena Farin, keesokan harinya aku diberi kabar tentang keberadaan Haikal oleh April. Semangat hidupku yang sudah jadi remahan dan nyaris tak bersisa ini dihantam lagi oleh kenyataan kalau Haikal mengamuk padaku.

Butuh seluruh tenaga April dan Faris untuk meleraiku dan butuh wajah yang tebal untuk meladeni ucapan dari mulut Haikal yang begitu mencerca dan merendahkanku. Ia mengataiku dari kepala hingga kaki, meruntuhkanku hingga jatuh ke titik terendahku.

Memar di wajahku sudah bisa menjelaskan semuanya tanpa perlu kubicarakan panjang lebar. Berkatnya juga di pipi atasku terdapat luka gores yang cukup dalam. Meski pendek dan kecil, ini akan berbekas hingga waktu yang lama. Terimakasih, Haikal ... terimakasih. Aku tahu aku ini sampah, tapi kelakuanmu jauh lebih sampah kalau sedang marah.

Guess what? Sesampainya di rumah, aku dimarahi habis-habisan oleh ibuku. Ibu menanyakan sumber lukaku, menanyakan siapa yang memukulku dan apa yang kulakukan hingga pantas diberi bogem mentah seperti itu. Aku tentu tidak bisa menjawabnya dengan jujur.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang