Act 35. Talk Your Heart Out

1.4K 162 171
                                    

Previous Act :

"KIAN!" Ayahku membentak. Keras. Keras sekali. Tangannya sempat memukul kemudi. "CUKUP! Jangan bicara apapun lagi."

Kututup bibirku, kugantikan suara bicaraku dengan hirupan cepat udara di hidungku. Ibu menangis, aku menangis. Ayah pun mungkin menangis dalam hatinya. Menyadari betapa hancurnya keluarga kami.

Ibuku menghapus air matanya. Bicara dengan suara parau. Sedikit memekik. "Kamu bilang ibu merebut kebebasanmu, 'kan? Mulai sekarang tak akan lagi.

Kalimatnya terpotong tangisnya. "Silakan lakukan sepuasmu. Ibu tidak akan melarangmu lagi. Kamu bebas pergi ke manapun. Ibu tidak akan bertanya lagi tentang keberadaanmu.

"Tapi satu hal, Kian. Setelah lulus kuliah nanti. Ibu tidak mau lagi melihatmu di rumah ibu. Setelah lulus nanti, kamu bukan lagi anak ibu. Camkan itu." Tangis ibuku makin menjadi. Ayah tak lagi mengatakan apapun untuk membelaku. Ia hanya diam sambil meratapi keadaan. Tangisku makin pecah dan dadaku makin sesak.

Aku tahu, ibu sudah berusaha. Aku tahu, bu. Tapi aku tidak bahagia. Sama sekali tidak bahagia. Maafkan aku dan egoisku. Aku sayang ibu.

Rintihan hatiku makin membuatku makin berat. Rasanya ingin mati saja.

☽❁☾

Selepas hari itu, keadaan rumah kembali ke dua bulan sebelum kedatangan Farin. Ayah kembali tak bisa berkutik karena diperintah ibu, kami tak pernah lagi bicara. Begitupun ibu terus memusuhiku juga tak bicara padaku, memperlakukanku seolah tak ada. Meski aku membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, meski aku mengepel dari lantai dua hingga lantai satu setiap dua hari sekali pun, tak ada ucapan terima kasih darinya. Sama seperti dulu saat Farin masih kuliah di Malaysia.

Terkadang hatiku sakit setiap kali mereka mengabaikanku. Tapi apa daya, jika ibuku bertekad untuk melakukan aksi A maka tak ada satupun di dekatnya yang dapat mengubah tekadnya itu. Ayah pun begitu, ia sudah memutuskan untuk terus jadi aksesoris dari aksi diam ibuku, wajar jika aku merasa seperti tak punya siapapun di rumah. Mereka membayar biaya kuliahku, memberiku uang bulanan, memberiku makan, tapi sama sekali tak mengasihiku secara psikis. Bukankah ini pengabaian yang keterlaluan?

Sisi baiknya, aku bisa bertemu April. Aku bisa mengajaknya ke rumah, aku bahkan sengaja membawanya ke kamarku. Sengaja kutunjukkan di depan wajah ibu biar dia bereaksi dan bicara padaku. Tapi percuma, ia tak ambil pusing. April juga tidak mau ikut andil menyakiti hati ibu. Saat aku bilang aku ingin April pura-pura mesra denganku, ia enggan. Padahal aku hanya ingin ibu bicara padaku. Marahnya ibuku itu pedulinya untukku. Diamnya ibuku adalah benci dan ibu sedang membenciku.

"Sabar ya." April memegang pundakku, menepuknya pelan. "Kamu pasti bisa melewati ini."

Setelah bicara panjang lebar dan meluapkan perasaanku selama dua jam, April hanya bisa berkata begini. Dia sendiri enggan mengatakan apapun karena sejak awal, aku menyuruhnya untuk tidak memberiku solusi. Aku hanya ingin didengarkan hari ini. Aku sudah lelah dengan segala macam hal yang membuat perasaanku teriris. Sudah lelah juga meratapi nasibku yang hanya bisa bersedih atas keputusan tololnya Farin yang berhenti minum obat karena Gio.

"Waktu kamu ke sini itu, sudah 6 bulan lalu, ya. Tidak terasa sudah setengah tahun lebih kita saling kenal." Kicauku, tiba-tiba. April memandangku dengan tatapannya yang hangat, tangannya mendarat di atas tanganku.

"Kian, saya mungkin kedengaran norak. Tapi selama 5 bulan ini saya rindu kamu. Rasanya tidak enak kalau cuma bertemu lewat video call atau chatting saja. Saya senang sekali bisa bertemu kamu lagi. Meski taruhannya berat. Karena ingin bebas, kamu sampai seperti ini dengan orang tua kamu." Genggaman tangannya makin erat. Jemarinya mengelus kulit tanganku. Senyumnya menipis, satu tangannya berada di ubun-ubun kepalaku, memainkan rambutku.

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang