Act 33. A Girl's Heart

1.3K 155 62
                                    

Previous Act :

Saat pengantin berjalan menuju altar, seluruh undangan berdiri dan musik pengiring dimainkan, tangisku pecah meski kutahan. Aku tahu Farin sadar dengan keadaanku sekarang. Aku tahu jika Farin tahu aku sangat merindukannya. Tapi ia terus seperti ini. Menganggapku tidak ada. Hatiku sakit setengah mati.

Kenapa? Ada apa denganmu, kak?! Bicaralah padaku. Hatiku mengamuk dan murka, kepalan tanganku sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa aku sudah berusaha untuk menahan diriku kuat-kuat. Clarissa yang mengerti dengan situasiku, menggenggam tanganku, mengalihkan pandanganku dari Farin dengan wajahnya. Ayahku kembali menempelkan tangannya di punggungku, memintaku menyerah akan perasaanku. Memintaku kembali berada di dunia nyata, berakting, bertingkah semuanya baik-baik saja. Begitupun ibuku yang menghantarkan aroma kejam lewat lirikan matanya yang tajam.

Tuhan, aku harus bicara dengan kakakku. Harus ... Tekadku tak terbendung lagi. Apapun caranya, akan kubuat kakakku bicara padaku. Akan kubuat ia menatapku dalam-dalam. Akan kudapatkan jawaban penuh darinya. Akan kulakukan apapun agar ia menjawab semua pertanyaanku. Akan kulakukan apapun agar ia kembali padaku.

☽❁☾

Upacara pemberkatan nyaris selesai. Kedua mempelai telah mengucapkan janji nikah dan saling menyematkan cincin pernikahan. Setelahnya dilanjut bla, bla, bla ... aku ingin cepat pergi dari sini. Lalu prosesi sungkeman pengantin pada orang tua, lalu diikuti doa berkat dan nyanyian penutup. Lalu bagian yang paling kubenci dari hari ini pun dimulai, resepsi pernikahan.

Ibuku adalah orang yang paling bersemangat mengikuti acara jamuan itu. Ayah, sudah tentu wajib menemani ibu. Farin dan perempuan yang dibawanya pun dengan senang hati duduk bersama ayah dan ibu, menikmati jamuan sambil menunggu acara pengisi yang dibawakan MC. Aku? Memilih untuk menunggu di mobil dengan Clarissa. Enggan barang sedetik pun menikmati jamuan bertema garden party ini meski ibuku menyalak sekalipun. Beruntung, ayah dengan murah hati memberiku kunci mobilnya. Tidak berkelit meski ibu memarahinya dan mereka nyaris bertengkar besar.

Untuk apa juga berada di sini. Lagipula ujung-ujungnya ibu hanya akan menghardik pengantin lewat perkataannya. Menyakiti orang lain dengan memamerkan keluarga sempurna kami yang hanya bagus di luarnya saja. Sambil berbalut kebohongan, ibuku akan menyudutkan orang tua si pengantin yang tahu dengan keadaan keluarga kami yang sebenarnya, tentangku yang gay dan Farin yang terkena HIV. Ibu akan terus berakting, mati-matian menampilkan yang terbaik demi kesan keluarga kami di mata keluarganya. Munafik.

Meski begitu, aku tidak ambil peduli atas tingkah ibuku yang menurutku berlebihan. Satu hal yang benar-benar menyakitkanku saat ini hanya tingkah kakakku. Farin sama sekali tak peduli denganku yang mengundurkan diri dengan sengaja. Ia bahkan tak melirikku saat aku meninggalkan meja dengan Clarissa. Aku terus saja dianggap maya meski aku terus memberi sinyal padanya. Jika saja aku terlambat meninggalkan meja, aku pasti sudah meledak dan membuat acara jamuan itu jadi panggung pertunjukkan, bertengkar dan berteriak ke wajah Farin yang terus mengabaikanku. Untungnya itu tak terjadi.

"Kian, tunggu. Jangan cepat-cepat!" Clarissa berusaha berlari cepat, menyusulku. Sepatu hak tingginya membuatnya kesulitan menyamai kecepatan kakiku yang menghentak tanah penuh emosi. "Marah boleh, tapi jangan menyusahkan dong, ah!"

Kedua kakiku berhenti. Tubuhku berbalik ke arah Clarissa. Sengaja menunggunya. Begitu melihat wajah kusut milikku, Clarissa pun berhenti. Berdiri dengan sedikit jarak di antara kami. Menatapku kasihan, namun tak sampai hati untuk bicara dengan nada mengasihani. "Kian, padahal tadi makanannya enak-enak, lho. Harusnya kita bawa beberapa untuk makan di mobil. Menunggu di parkiran saja 'kan tidak asyik. Kamu juga belum makan, 'kan?"

Bad Boy Cliches (BL Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang