[12] Big problem

285 47 8
                                    

Ray tiba di rumah, setelah 8 jam penuh berada di lingkungan area sekolahnya yang sampai sekarang tidak bisa membuatnya merasa nyaman.

Ia segera melepas sepasang sepatunya lalu membuka pintu dan masuk. Sunyi, tidak ada siapa-siapa yang menyambutnya di dalam sana. Kakaknya masih berada di kampus, dan akan pulang jam 6 nanti.

Ray berjalan ke dapur, ia membuka kulkas, mencari simpanan susu coklatnya, lalu ia berjalan ke kamarnya.

Ia melewati ruang keluarga yang dulu selalu menjadi tempat favorinya membeber mainannya dengan Mama. Juga sofa panjang berwarna coklat itu, tempat bermain pesawat-pewatan dengan Papa. Itu adalah saat-saat uang menyenangkan saat Papa mengangkat tubuhnya dengan lutut sebagai penumpu dirinya yang masih balita.

Ray tersenyum tipis, sangat tipis hingga tidak menyerupai sebuah senyuman. Suasana seperti ini yang ia benci, karena mengingatkannya pada mendiang Papa dan Mama. Sudah lama sejak ia terakhir kali pergi ke pemakaman mereka berdua. Ray tidak mau pergi kesana karena terlalu banyak kesedihan yang akan ia ingat saat melihat kedua makam itu.

Langsung saja ia melangkah menuju kamarnya. Mungkin ada kegiatan lain yang akan ia temukan sebagai pelampiasam untuk melupakan kenangan-kenangan manis yang terasa pahit itu.

*

Vanza sedang melamun menatap suasana ruang kelasnya yang ramai. Ini tidak seperti biasanya. Karena hari ini, dosen yang mengisi kelas mendadak absen, dan menitipkan tugas yang tak jelas apa maksudnya. Hal itu membuat kepalanya serasa diputar di komidi putar dengan kecepatan maksimal. Namun sebaliknya, teman-temannya malah besikap santai dan tenang, mereka asyik bercanda satu sama lain.

"Woi."

Hampir saja ia terloncat dari tempat duduknya karena suara yang membuatnya terkejut itu.

Ia menoleh secepat kilat ke sumber suara, dan seperti dugaannya. Aletta menyengir tak berdosa sambil membawa sebuah kertas. Vanza menduga itu adalah hasil ujian yang membuat gadis itu ribut di rumahnya tempo hari lalu, akibat ia tidak tahu bab apa saja yang harus dipelajarinya.

Aletta tersenyum girang menatap Vanza dengan berbinar-binar. Hal itu membuat Vanza membuatnya heran.

"Kenapa, Al? Bahagia amat."

"Vanza" Aletta memegang masing-masing bahu Vanza dengan kedua tangannya. Sementara kertas yang tadi ia bawa malah tertumpuk absurd di atas meja. "Nilai ujian gue, lebih bagus dari punyanya Alex. So, you know what happen tomorrow."

Ah ya, tempo hari lalu saat Aletta heboh dengan bagaimana nasib ujiannya kedepan, tiba-tiba Alex datang menantangnya dengan percaya diri. Jikalau nilai ujian Aletta lebih tinggi dari miliknya, maka esoknya setelah ujian, Alex akan membawa Aletta pergi ke Mall dan mentraktirnya, dengan atau tidak dengan Vanza. Namun jika Aletta kalah, ia harus mentraktir Alex dan juga Vanza.

Alhasil, semangat belajar milik Aletta langsung membumbung tinggi. Sebab ia sangat menginginkan hadiah dari tantangan itu, ia juga tidak mau kalah begitu saja. Karena ia sedang dalam masa-masa kanker.

(*kantong kering)

Vanza terkekeh. "Aku tahu. Jadi, kita pergi besok? Aku ada kelas jam 7 dan baru selesai jam 9."

Tiba-tiba seorang laki-laki datang, ia menyeret kursi dan bergabung dengan mereka sambil memasang senyum licik. "Gimana, Al?"

Soul Reaper [✔] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang